Saya
mulai kebingungan untuk memulai cerita ini dari mana, karena sejujurnya banyak
banget yang mau saya tulis dari awal saya mengenal Kampus Fiksi sampai saya
terpilih menjadi bagian dari orang-orang kece yang masuk dalam angkatan Kampus
Fiksi Emas. Dan termasuklah saya orang kece itu di dalamnya.
Kampus
Fiksi itu sendiri adalah event yang diadakan oleh penerbit @divapress01 sekitar
bulan april tahun lalu. Dari namanya tentu sudah jelas banget kalau event ini
tak jauh-jauh dari sebuah acara kepenulisan, yang bertujuan untuk membimbing
orang yang biasa menjadi luar biasa dengan sebuah tulisan, lalu orang yang
terancam keren karena tulisannya.
Ah,
ya. Saya jelaskan dulu sebelumnya kalau di dalam darah saya sama sekali tidak
ada darah seorang penulis atau sejenisnya. Yang ada hanyalah mimpi menjadi
seorang penulis. Saya rasa memang benar kata Pak Edi kalau untuk menulis sama
sekali tidak harus memiliki keturunan seorang penulis. Tidak sama sekali.
Untuk menulis kita hanya perlu tiga jurus saja; menulis, menulis dan menulis
itu sendiri. Dan saya sangat setuju pada Pak Edi yang bilang kalau menulis
membuatmu terancam keren. Nyatanya memang begitu. Kalau saya sih belum
sepenuhnya keren, tapi setelah saya bergabung di Kampus Fiksi reguler angkatan
empat bulan September tahun lalu, barulah saya merasa keren. Bukan karena saya
sudah mahir menulis, tapi karena saya kenal orang-orang hebat yang tulisannya
sudah ada di mana-mana. Dan puncaknya saya benar-benar merasa keren karena
cerpen saya yang berjudul “Lelaki Pembawa Lilin” -yang dibuat paling lama dalam
sejarah pembuatan cerpen saya- berhasil lolos dari sekitar 150an peserta Kampus
Fiksi Reguler dari angkatan satu sampai lima yang sama-sama berjuang untuk masuk
ke dalam angkatan Kampus Fiksi Emas. *Narik nafas. Keren kan? Iya, dong. *Mulai
songong
Nih,
saya kasih foto saya bersama teman-teman di kampus fiksi angkatan empat bulan
September lalu yang mengantarkan saya ke Kampus Fiksi Emas.
Lanjut
ke Kampus Fiksi Emas…
Yakin
100% untuk ikutan seleksi Kampus Fiksi Emas ini banyak alumni yang sudah
mempersiapkan ide dan tulisan mereka dari jauh-jauh hari. Termasuklah saya. Dan
Mas Ipul juga cerita kalau alumni Kampus Fiksi angkatan satu sudah
mempersiapkan dari satu bulan sebelumnya untuk ikutan seleksi Kampus Fiksi Emas
ini.
Dan,
tahukah teman-teman sekalian, ilmu yang dibagikan selama kegiatan Kampus Fiksi
Emas, akomodasi, transportasi, konsumsi dan semua kenangan yang nggak bisa
dibeli diberikan secara cuma-cuma alias GRATIS!
Singkat
cerita. Kamis siang 12 Juni 2014
Dalam
hubungan percintaan, jadi yang pertama memang sangat berkesan. Sama halnya
dengan acara Kampus Fiksi Emas ini. Saya yang datang pertama kali di Asrama
Kampus Fiksi yang alamatnya saya lupa di mana. Siang itu saya di sambut dengan
senyum yang hangat oleh Moza dan… dan… satunya saya lupa. Mungkin Ozil? Zil? Zil?
Ya, anggap aja itu.
Untuk
sepuluh menit selanjutnya saya krik-krik sendiri di dalam kamar. Sampai
akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari kamar dan ngobrol-ngobrol sama Moza
dan Ozil. Ya, anggap aja namanya Ozil ya. Walaupun saya bingung mau mulai
obrolan dari mana. Kayaknya gak mungkin tiba-tiba ngomongin tentang bola
soalnya saya gak suka bola. Mau ikut mereka ngobrol tentang Bima Sakti (yang
saat itu entah nerbangin siapa dengan kipasnya), tapi saya gak tahu tentang
tontonan mereka itu. Sampai akhirnya saya buka obrolan dengan pertanyaan
seperti ini, “Di sini bisa masak kan ya?” Sambil menyodorkan kotak pempek.
Lumayan banyak yang kami bicarain.
Sampai akhirnya Ozil itu cerita tentang kuliahnya di UIN. Tentang agama dan…
aku mulai meringis, lalu disambung Moza yang nyeritain tentang dunia tulis
menulis dan Kolase-nya.
Setelah ngerasa nggak ada lagi yang
mau diobrolin, saya pun balik lagi ke kamar. Untuk beberapa jam selanjutnya
saya kembali “krik-krik” dan seperti manusia lainnya yang mulai kebosanan saya
pun jepret-jepret gak jelas. Inilah karya saya selama menunggu peserta yang lain datang
Tolong abaikan tanggalnya. |
Sekitar
menjelang maghrib barulah penghuni-penghuni asrama berdatangan. Saya nyaris
sujud syukur dengan kedatangan mereka, karena mereka datang memori camera gak penuh sama foto
kaki semua.
Jum’at pagi, 13 Juni 2014
Mata saya jelas menutup, tapi
telinga saya tetap terbuka. Yang fenomenal di pagi ini adalah lagi-lagi tawa
Farrah yang menggelitik daun telinga saya. Saya masih ingat, sebelum saya tidur
yang saya dengar adalah tawa Farrah dari ruang televisi, dan waktu saya sadar
dari tidur, tawa Farrah juga yang menghantui dari ruang televisi. Setelah saya
selidiki, ternyata tawa mereka pecah dengan tragedi sensasional Mbak Elisa
dengan sopir travel dan gelitikan ekspresi Mas Ipul yang menanggapi cerita Mbak
Elisa. Dan pagi itu kedatangan Mbak Elisa, Mami Indah, Mas Ersa dan Mbak Pia
melengkapi jumlah kami, minus satu Kak Reni yang sedang sakit.
Pukul delapan ditanggal yang sama.
Ini yang paling sering dibicarain
teman-teman di group watsap selain obrolan tentang Power Ranger dan pizza. Dijadwal
yang sudah ditentukan, hari itu kami praktik membuat cerpen selama 2,5 jam
dengan ide yang sudah ditentukan. Tapi berhubung kami semua orang kece yang
bergelar nolay semenjak acara malam minggu itu, kami bisa menyelesaikan satu
cerpen kisaran 4-5 halaman. (Gak tau gimana hasilnya XD) Yang mau baca mampir
aja ke sini.
Setelah
selesai praktik menulis, yang cowok bersiap untuk sholat jum’at dan tinggalah
kami di asrama yang menunggu dengan (lumayan) tegang proses “Pengadilan Karya.”
Beruntungnya saya kebagian malam bersama Mbak Ayun, dan disesi pertama “Pengadilan
Karya ada Mas Ersa yang selalu menutup mukanya dengan buku antologi Gadis 360 Hari
yang Lalu saat diadili, Mas Adit dan Mas Reza Nufa yang selalu bisa membela
karyanya.
Begitu seterusnya beberapa karya lain diadili sampai langit
menghitam, dan saya mulai cenat-cenut lihat Mbak Ayun yang senyum-senyum
ngeliatin muka saya yang tegang. Dalam hati saya teriak, “Mau ngomong apa
nanti??????”
Ini loh Mas Ersa yang nutupin mukanya mulu saat karyanya diadili. |
Mas Reza yang selalu bahagia setelah karyanya diadili. |
Ini Mas Adit yang karyanya... eh, salah foto |
Nih
muka saya yang gelagapan waktu disuruh membela karya saya. Sampai matanya merem
gitu.
Saya lagi pura-pura ketawa dan tiba-tiba Mbak Ve galau. |
Hari itu sangat panjang, bahkan
mengalahkan panjangnya Sungai Kapuas, dan kesedihan Altar di dalam cerpen saya “Lelaki
Pembawa Lilin” tapi banyak yang bisa saya pelajari untuk hari itu, tentang
semua hal yang diam-diam dibagikan secara sukarela oleh peserta Kampus Fiksi
emas lewat diri mereka masing-masing, lewat ucapan dan tingkah laku.
Sabtu, 14 Juni 2014
“Dan saat engkau menginginkan
sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.”
Begitu yang dikatakan Paulo Coelho
dalam bukunya Sang Alkemis di halaman 31. Buku ini yang akan dibedah oleh Tia
Setiadi. Kalimat di atas merupakan salah satu keajaiban bahasa seperti yang
dikatakan oleh Mas Tia, keajaiaban bahasa persuasif yang lembut, sederhana,
tapi sangat istimewa bagi pembacanya dan kehebatan Paulo itulah yang membuat
saya hanya tiga jam melahap tulisannya. Pagi itu, Mas Tia memberikan banyak
ilmu baru pada saya khususnya, yang bisa dicontoh dari karya Paulo mengenai
tema, tokoh-tokoh, penggunaan bahasa dan penggunaaan sudut pandang yang tidak biasa, bonusnya
yaitu ilmu kotak-kotak cina yang dijelaskan panjang lebar oleh Mas Tia.
Bagaimana hebatnya Paulo dalam menggunakan teknik cerita di dalam cerita. Gitu.
Ini Mas Tia yang pake baju kotak-kotak warna merah. Gak tau sih timses Jokowi apa bukan. (?) |
Dan setelah sesi itu berakhir,
disambunglah oleh Pak Edi dengan materi “State of Mind.” Materi yang
disampaikan oleh Pak Edi ini awalnya agak membuat kepalaku berpikir keras,
pasalnya memang saya tidak terlalu menyukai ilmu filsafat. Tapi setelah
dijelaskan panjang lebar oleh beliau barulah saya mengerti dan (baru) menyukai
tentang apa yang disampaikan oleh Pak Edi ini. Yah, kalau dipikir-pikir seorang
penulis memang membutuhkan ilmu ini ya. Tanya kenapa? Karena seorang penulis ya
memang membutuhkan ilmu ini. *Plak XD
Ini Pak Edi yang menyampaikan materi State of Mind. |
Setelah menguras energi dengan dua
sesi sebelumnya. Acara yang ditunggu-tunggu pun tiba!
TERBANG KE KALIURANG!!!
Ada beberapa mobil siang itu yang
sudah ngantri untuk kami masuki. Dan akhirnya masuklah saya pada mobil avanza
putih yang driver-nya seorang lelaki chubby - Mas Agus. Saya satu mobil dengan
Kak Mala, Moza, Mas Muchlis, Kak Ros, Kak Muf dan Kak Nurul.
Sepanjangan jalan, entah kenapa
suasananya (lagi-lagi) “krik-krik” apalagi setelah penumpang di belakang –Kak Ros, Kak
Nurul, Kak Muf- terlelap dengan pose yang manis, sebelumnya cuma mereka yang ngoceh-ngoceh bertiga, dan kami cuma dengerin aja. Untuk selanjutnya
perjalanan kami cuma ditemani oleh lagu dangdut yang keukeh gak mau diganti sama Mas Agus yang chubby.
To be contibued Kaliurang dan Lava Tour Merapi.
To be contibued Kaliurang dan Lava Tour Merapi.