-->
Free Alien Dance Cursors at www.totallyfreecursors.com

Kenangan di dalam cerita #KampusFiksiEmas - Part 1

Rabu, 25 Juni 2014









Saya mulai kebingungan untuk memulai cerita ini dari mana, karena sejujurnya banyak banget yang mau saya tulis dari awal saya mengenal Kampus Fiksi sampai saya terpilih menjadi bagian dari orang-orang kece yang masuk dalam angkatan Kampus Fiksi Emas. Dan termasuklah saya orang kece itu di dalamnya.
Kampus Fiksi itu sendiri adalah event yang diadakan oleh penerbit @divapress01 sekitar bulan april tahun lalu. Dari namanya tentu sudah jelas banget kalau event ini tak jauh-jauh dari sebuah acara kepenulisan, yang bertujuan untuk membimbing orang yang biasa menjadi luar biasa dengan sebuah tulisan, lalu orang yang terancam keren karena tulisannya.
Ah, ya. Saya jelaskan dulu sebelumnya kalau di dalam darah saya sama sekali tidak ada darah seorang penulis atau sejenisnya. Yang ada hanyalah mimpi menjadi seorang penulis. Saya rasa memang benar kata Pak Edi kalau untuk menulis sama sekali tidak harus memiliki keturunan seorang penulis. Tidak sama sekali. Untuk menulis kita hanya perlu tiga jurus saja; menulis, menulis dan menulis itu sendiri. Dan saya sangat setuju pada Pak Edi yang bilang kalau menulis membuatmu terancam keren. Nyatanya memang begitu. Kalau saya sih belum sepenuhnya keren, tapi setelah saya bergabung di Kampus Fiksi reguler angkatan empat bulan September tahun lalu, barulah saya merasa keren. Bukan karena saya sudah mahir menulis, tapi karena saya kenal orang-orang hebat yang tulisannya sudah ada di mana-mana. Dan puncaknya saya benar-benar merasa keren karena cerpen saya yang berjudul “Lelaki Pembawa Lilin” -yang dibuat paling lama dalam sejarah pembuatan cerpen saya- berhasil lolos dari sekitar 150an peserta Kampus Fiksi Reguler dari angkatan satu sampai lima yang sama-sama berjuang untuk masuk ke dalam angkatan Kampus Fiksi Emas. *Narik nafas. Keren kan? Iya, dong. *Mulai songong
Nih, saya kasih foto saya bersama teman-teman di kampus fiksi angkatan empat bulan September lalu yang mengantarkan saya ke Kampus Fiksi Emas.

Lanjut ke Kampus Fiksi Emas…
Yakin 100% untuk ikutan seleksi Kampus Fiksi Emas ini banyak alumni yang sudah mempersiapkan ide dan tulisan mereka dari jauh-jauh hari. Termasuklah saya. Dan Mas Ipul juga cerita kalau alumni Kampus Fiksi angkatan satu sudah mempersiapkan dari satu bulan sebelumnya untuk ikutan seleksi Kampus Fiksi Emas ini.
Dan, tahukah teman-teman sekalian, ilmu yang dibagikan selama kegiatan Kampus Fiksi Emas, akomodasi, transportasi, konsumsi dan semua kenangan yang nggak bisa dibeli diberikan secara cuma-cuma alias GRATIS!
           
Singkat cerita. Kamis siang 12 Juni 2014

Dalam hubungan percintaan, jadi yang pertama memang sangat berkesan. Sama halnya dengan acara Kampus Fiksi Emas ini. Saya yang datang pertama kali di Asrama Kampus Fiksi yang alamatnya saya lupa di mana. Siang itu saya di sambut dengan senyum yang hangat oleh Moza dan… dan… satunya saya lupa. Mungkin Ozil? Zil? Zil? Ya, anggap aja itu.
            Untuk sepuluh menit selanjutnya saya krik-krik sendiri di dalam kamar. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari kamar dan ngobrol-ngobrol sama Moza dan Ozil. Ya, anggap aja namanya Ozil ya. Walaupun saya bingung mau mulai obrolan dari mana. Kayaknya gak mungkin tiba-tiba ngomongin tentang bola soalnya saya gak suka bola. Mau ikut mereka ngobrol tentang Bima Sakti (yang saat itu entah nerbangin siapa dengan kipasnya), tapi saya gak tahu tentang tontonan mereka itu. Sampai akhirnya saya buka obrolan dengan pertanyaan seperti ini, “Di sini bisa masak kan ya?” Sambil menyodorkan kotak pempek.
            Lumayan banyak yang kami bicarain. Sampai akhirnya Ozil itu cerita tentang kuliahnya di UIN. Tentang agama dan… aku mulai meringis, lalu disambung Moza yang nyeritain tentang dunia tulis menulis dan Kolase-nya.
            Setelah ngerasa nggak ada lagi yang mau diobrolin, saya pun balik lagi ke kamar. Untuk beberapa jam selanjutnya saya kembali “krik-krik” dan seperti manusia lainnya yang mulai kebosanan saya pun jepret-jepret gak jelas. Inilah karya saya selama menunggu peserta yang lain datang
     
Tolong abaikan tanggalnya.
Sekitar menjelang maghrib barulah penghuni-penghuni asrama berdatangan. Saya nyaris sujud syukur dengan kedatangan mereka, karena mereka datang memori camera gak penuh sama foto kaki semua.

            Jum’at pagi, 13 Juni 2014 
            Mata saya jelas menutup, tapi telinga saya tetap terbuka. Yang fenomenal di pagi ini adalah lagi-lagi tawa Farrah yang menggelitik daun telinga saya. Saya masih ingat, sebelum saya tidur yang saya dengar adalah tawa Farrah dari ruang televisi, dan waktu saya sadar dari tidur, tawa Farrah juga yang menghantui dari ruang televisi. Setelah saya selidiki, ternyata tawa mereka pecah dengan tragedi sensasional Mbak Elisa dengan sopir travel dan gelitikan ekspresi Mas Ipul yang menanggapi cerita Mbak Elisa. Dan pagi itu kedatangan Mbak Elisa, Mami Indah, Mas Ersa dan Mbak Pia melengkapi jumlah kami, minus satu Kak Reni yang sedang sakit.
            
             Pukul delapan ditanggal yang sama.
            Ini yang paling sering dibicarain teman-teman di group watsap selain obrolan tentang Power Ranger dan pizza. Dijadwal yang sudah ditentukan, hari itu kami praktik membuat cerpen selama 2,5 jam dengan ide yang sudah ditentukan. Tapi berhubung kami semua orang kece yang bergelar nolay semenjak acara malam minggu itu, kami bisa menyelesaikan satu cerpen kisaran 4-5 halaman. (Gak tau gimana hasilnya XD) Yang mau baca mampir aja ke sini.
            Setelah selesai praktik menulis, yang cowok bersiap untuk sholat jum’at dan tinggalah kami di asrama yang menunggu dengan (lumayan) tegang proses “Pengadilan Karya.” Beruntungnya saya kebagian malam bersama Mbak Ayun, dan disesi pertama “Pengadilan Karya ada Mas Ersa yang selalu menutup mukanya dengan buku antologi Gadis 360 Hari yang Lalu saat diadili, Mas Adit dan Mas Reza Nufa yang selalu bisa membela karyanya.
Ini loh Mas Ersa yang nutupin mukanya mulu saat karyanya diadili.
Mas Reza yang selalu bahagia setelah karyanya diadili.
Ini Mas Adit yang karyanya... eh, salah foto

            Begitu seterusnya beberapa karya lain diadili sampai langit menghitam, dan saya mulai cenat-cenut lihat Mbak Ayun yang senyum-senyum ngeliatin muka saya yang tegang. Dalam hati saya teriak, “Mau ngomong apa nanti??????”
            Nih muka saya yang gelagapan waktu disuruh membela karya saya. Sampai matanya merem gitu.
  
Dan ini Mbak Ayun yang terlihat bahagia.
Saya lagi pura-pura ketawa dan tiba-tiba Mbak Ve galau.
            Pada akhirnya “Pengadilan Karya” berakhir setelah Pak Edi mengadili karya Mas Ipul, Mami Indah dan Kak Muf. Pada intinya kegiatan pengadilan karya ini untuk melatih kami (lebih khususnya sih saya sendiri) untuk tidak cengeng jika suatu saat nanti karya yang telah kami netaskan dikritik oleh orang.
            Hari itu sangat panjang, bahkan mengalahkan panjangnya Sungai Kapuas, dan kesedihan Altar di dalam cerpen saya “Lelaki Pembawa Lilin” tapi banyak yang bisa saya pelajari untuk hari itu, tentang semua hal yang diam-diam dibagikan secara sukarela oleh peserta Kampus Fiksi emas lewat diri mereka masing-masing, lewat ucapan dan tingkah laku.
           
            Sabtu, 14 Juni 2014
            “Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.”
            Begitu yang dikatakan Paulo Coelho dalam bukunya Sang Alkemis di halaman 31. Buku ini yang akan dibedah oleh Tia Setiadi. Kalimat di atas merupakan salah satu keajaiban bahasa seperti yang dikatakan oleh Mas Tia, keajaiaban bahasa persuasif yang lembut, sederhana, tapi sangat istimewa bagi pembacanya dan kehebatan Paulo itulah yang membuat saya hanya tiga jam melahap tulisannya. Pagi itu, Mas Tia memberikan banyak ilmu baru pada saya khususnya, yang bisa dicontoh dari karya Paulo mengenai tema, tokoh-tokoh, penggunaan bahasa dan penggunaaan sudut pandang yang tidak biasa, bonusnya yaitu ilmu kotak-kotak cina yang dijelaskan panjang lebar oleh Mas Tia. Bagaimana hebatnya Paulo dalam menggunakan teknik cerita di dalam cerita. Gitu.
Ini Mas Tia yang pake baju kotak-kotak warna merah. Gak tau sih timses  Jokowi apa bukan. (?)
            Dan setelah sesi itu berakhir, disambunglah oleh Pak Edi dengan materi “State of Mind.” Materi yang disampaikan oleh Pak Edi ini awalnya agak membuat kepalaku berpikir keras, pasalnya memang saya tidak terlalu menyukai ilmu filsafat. Tapi setelah dijelaskan panjang lebar oleh beliau barulah saya mengerti dan (baru) menyukai tentang apa yang disampaikan oleh Pak Edi ini. Yah, kalau dipikir-pikir seorang penulis memang membutuhkan ilmu ini ya. Tanya kenapa? Karena seorang penulis ya memang membutuhkan ilmu ini. *Plak XD
Ini Pak Edi yang menyampaikan materi State of Mind.
            Setelah menguras energi dengan dua sesi sebelumnya. Acara yang ditunggu-tunggu pun tiba!

               TERBANG KE KALIURANG!!!
            Ada beberapa mobil siang itu yang sudah ngantri untuk kami masuki. Dan akhirnya masuklah saya pada mobil avanza putih yang driver-nya seorang lelaki chubby - Mas Agus. Saya satu mobil dengan Kak Mala, Moza, Mas Muchlis, Kak Ros, Kak Muf dan Kak Nurul.
            Sepanjangan jalan, entah kenapa suasananya (lagi-lagi) “krik-krik” apalagi setelah penumpang di belakang –Kak Ros, Kak Nurul, Kak Muf- terlelap dengan pose yang manis, sebelumnya cuma mereka yang ngoceh-ngoceh bertiga, dan kami cuma dengerin aja. Untuk selanjutnya perjalanan kami cuma ditemani oleh lagu dangdut yang keukeh gak mau diganti sama Mas Agus yang chubby.

 To be contibued Kaliurang dan Lava Tour Merapi.