-->
Free Alien Dance Cursors at www.totallyfreecursors.com

Ingatkah?

Selasa, 31 Desember 2013


Dengarlah, bahwa jantungku berdegup dengan kencang saat ini. Sangking kencangnya, kau bisa mendengarkan detak jantungku dari jarak sepuluh sentimeter saja. Kau semakin dewasa. Tumbuh lebih dingin dari biasanya. Bayangkan saja, bahkan aku sampai lupa kapan terakhir kali aku menatapmu?
Di bawah sinar kembang api yang ditembakkan oleh teman-temanmu, wajahmu terselip di sana, di antara mereka. Tangan kananmu, memegang kembang api, sedang tangan kirimu merangkul..., seorang wanita.-

Ingatkah?
Bahwa setiap cerita cinta pasti punya kenangan indah.
1 Januari, 2012                                  
Sejak sepuluh tahun belakang, menurutku tidak ada yang menarik dari malam pergantian tahun yang akrab disebut orang sebagai‘malam tahun baru’itu. Oh, tolonglah, jangan tanya apa alasannya, karena hal itu tentu akan membuat sebongkah hatiku menghangat. Ah, tidak, lebih tepatnya sangat menghangat.
10 Desember, 2012
“Gue nggak tahu, Ma,” ujarku malas pada perempuan yang duduk di sampingku. Matanya tetap mengarah pada layering orange coffee dan smoothie cappucino yang baru saja dilayangkan oleh waiter ke meja kami. Kami sekarang duduk di sebuah kedai kopi yang berada di Jakarta Timur. Bertemankan dengan musik reggae yang mendesing di telinga kami. Sangat cozzy. Alunan musik itu menyusup lewat belakang-belakang poster vintage yang bertebaran di dindingnya, memanjakan telinga kami yang kehausan dengan musik reggae.
Gema memandangi bulir-bulir embun bak peluh yang mengucur di pinggiran gelas orange coffee miliknya. “Dingin, ya...” desisnya dengan nada suara parau, dari nada suaranya tertangkap kalau ia seolah tak suka dengan minuman yang baru datang di meja kami.
Mendadak, dua benang berjejer secara vertikal dari muara alisku yang tertaut. “Bukannya lo sendiri yang pesen nih minuman?”
“Gue lupa, Ran, kalau gue sedang...”
Diet?” potongku cepat.
Ia menghela nafas berat, kemudian tertawa. “Minggu kemarin, gue udah turun tiga kilo.”
“Emangnya minuman dingin bisa bikin gemuk?”
“Iyalah,” katanya tanpa keraguan.
“Oh, Gema. Itu hanya mitos. Mana mungkin orange coffee ini bisa bikin lo gemuk. Kalau elo kira minuman ini bisa membekukan lemak, kenyataannya memang benar. Tapi, tubuh kita ini memproduksi panas, sehingga suhu di dalam pencernaan tubuh kita akan lebih tinggi ketimbang suhu di permukaan kulit ataupun rongga mulut.” Aku nyerocos panjang lebar dalam dua kali tarikan nafas. “Kalaupun lemak itu membeku di dalam rongga mulut akibat minuman dingin, kemudian tertelan ke rongga pencernaan, suhu di dalam tubuh dengan cepat akan akan mencairkannya...”
“Oh, hentikan ricauan panjang itu Kiran.” Ia langsung menyesap minumannya dengan mata membelalak memandangiku. Tanpa memikirkan lagi tentang diet.
“Yang buat gendut itu makanan berlemak dan malas olahraga,” sindiriku sekali lagi, sebelum aku menceritakan tentang pertemuanku dengan Boncu di dunia facebook.
            Kau tahu, sebelum semuanya menjadi sebuah pertemuan. Aku hanya mengetahui namanya dari nama profile facebook-nya saja; Boncu Simanjuntak. Lengkap dengan profile pict lukisan gambar seorang perempuan yang tak memakai busana dililit oleh puluhan ular, sehingga menyerupai pakaian untuknya.
“Itu lukisan gue,” katanya saat aku menanyakan lukisan di profile pict-nya. “Gue penggemar berat Salvador Dali. Lo tahu dia, kan?”
            Mukaku mendadak terlipat. Oh, ayolah. Ini sebuah pertanyaan yang meremehkan atau pertanyaan macam apa? Aku mendengus kesal dalam hati. Lalu tanganku yang ‘katanya’ putih ini menari dengan liar di atas keyboard, membalas pertanyaan Boncu.
Siapa yang tidak tahu pelukis asal Spanyol itu?
“Ha-ha! Pertanyaan lo lucu banget! Gue lumayan banyak tahu tentang lukisan surealisme Dali. Um, gue sebenarnya nggak terlalu suka, sih. Tapi, seorang laki-laki memaksakan..., ah, nggak, maksudnya ada seorang sahabat gue yang maksa gue untuk terus ikut mengagumi karya laki-laki berkumis panjang dengan nama Salvador Dali itu.”
Tak berapa lama kemudian ia kembali membalas tanggapanku.
“Wah, lo punya temen sama kayak gue. Gue juga punya sahabat yang sangat suka dengan Dali. Dia lebih pintar melukis dibanding gue. Kalau disandingkan sama dia, gue benar-benar kalau jauh.”
Deg!
Bisa kukatakan bahwa aku dan Boncu hanya teman dunia maya. Kami ngobrol hanya lewat chatt facebook. Aku sama sekali tidak pernah melihat wajahnya secara langsung ataupun hanya sekadar meliriknya dari foto. Karena itu sudah menjadi perjanjian kami sejak awal berkenalan untuk saling tukar cerita. Entahlah, aku sampai lupa apa alasan kami merahasiakan wajah kami masing-masing di media sosial.
Oh, tunggu. Aku mengingatnya. Boncu sempat bercerita padaku atas dampak penyebaran bebas foto-foto pengguna media sosial. Tak jarang, banyak sekali perempuan yang hilang dibawa kabur oleh teman facebook-nya. Atau, tentu tak asing lagi di telinga kita, bahwa dengan kecanggihan tekhnologi zaman sekarang, berbagai macam foto bisa diedit sedemikian rupa, sehingga bisa nampak seolah itu gambar aslinya.
“Foto bugil?”
“Ya, elo tentu tahu itu.”
Ho-o, aku mematut di depan layar laptop-ku. Persis seperti apa yang dikatakan oleh Nyokap di rumah sewaktu melihat aku meng-upload puluhan foto di akun media sosial.
“Foto kok ditebar-tebar gitu? Mau jualan, Neng?”
Aku lantas menoleh, memandangi Nyokap yang setengah membungkuk di belakangku. Ia mengamatiku yang sibuk memilih-milih foto. “Ini bukan jualan, Ma. Cuma ngasih tahu kalau lagi liburan.”
“Emang penting ngasih tahu kalau kamu lagi liburan? Kayak artis aja. Dicolong orang baru tahu rasa.” Nyokap mengancamku. “Anak tetangga kita ada yang fotonya dibikin aneh-aneh sama mantan pacarnya gara-gara dia selingkuh.”
Nafasku tersedak. “Mama kok tahu?” Kejadian itu belum genap satu hari heboh di media sosial dan Nyokap sudah tahu lebih dahulu.
“Hah, apa sih yang nggak mama tahu dari kamu?” Nyokap lalu berjalan meninggalkanku. Belum terlalu jauh, ia menoleh kembali dan memanggilku. “Kiran?
“Ya, Ma?
 Fotonya mending dicetak aja dari pada dipajang di tempat umum.”
“Buat apa, Ma?”
“Yah, buat ngusir tikus di loteng. Kan lumayan...” Mama kemudian melengos dengan tawa cekikian yang sengaja disimpannya di balik bibirnya yang mengembung.
“....”
Setelah hari itu, oh, tunggu tunggu, bukan setelah kejadian Nyokap menyuruhku untuk mencuci foto ya. Tapi setelah Boncu menceritakan seorang Salvador Dali padaku. Ingatanku kembali memutar kenangan tentang laki-laki itu. Hatiku serasa dijatuhi gerimis kepiluan yang membuat jantungku beku, beku selama bertahun-tahun. Karena dirinya.
Sejak saat itu, tak pernah lagi aku membalas chatt-nya. Sampai sekarang.
Ingatkah?
Bahwa, jika kau terlalu sering melakukan hal yang istimewa, maka hal istimewa itu tidak akan pernah lagi menjadi catatan sejarah.
Saat itu usiaku dua belas tahun, tepat di tahun 2002. Aku masih mengenakan pakaian putih abu-abu saat Bokap dan Nyokap mengajakku untuk segera mengemasi boneka yang akan dibawa selama liburan. Pakaiannya? Sudah diberesin sama Bik Jum sejak aku pergi ke sekolah tadi. Itu yang disampaikan oleh Nyokap. Kata Nyokap, kami akan berlayar ke Pulau Kotok. Merayakan tahun baru di sana, menginap di bungalow dan menyegarkan pikiran dari sibuknya Jakarta yang tak pernah tidur. Liburan ke Pulau Kotok sudah semacam tradisi bagi keluargaku waktu itu. Dan tempat itu mulai membosankan karena sering kami kunjungi. Ini kenyataannya.
Adakah yang lebih menarik selain welcome drink jus kelapa ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana?
Lalu, adakah sesuatu yang lebih ‘wah,’ selain pemandangan pohon-pohon bakau yang tumbuh kuat dengan akar yang menjalar di pasir putih?
Kemudian, apakah ada yang lebih bisa menarik perhatianku selain gazebo yang menyediakan lukisan matahari tenggelam yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata?
“Kiran,” Nyokap menepuk pundakku dengan lembut, sedikit meremasnya. “kita liburan kali ini dengan keluarga Pak Brahmana, rekan kerja papa.”
“Terus apa yang menariknya?” ucapku ketus.
“Pak Brahmana punya anak laki-laki yang gagah...” Nyokap kemudian menyunggingkan senyuman. “dan Kiran, kamu bisa mengajaknya jalan-jalan di sana nanti. Bagaimana?”
Oh, entahlah apa yang sedang dipikirkan Nyokap saat itu. Demi menjalin kekuatan yang penuh dari kedua perusahaan yang dipimpin oleh Pak Brahmana dan Bokap. Aku dijadikan semacam umpan untuk memancing ikan di tengah lautan.
“Apa lo lagi nungguin seseorang?
“Peduli apa lo sama gue?”
“Gue cuma nanya, kok. Emang gak boleh?”
Ia hanya menarik salah satu sudut bibirnya, membentuk garis yang tidak simetris.
Bisa kutangkap dari lukisannya kalau ia tampak sedang melakukan perjalanan yang sangat panjang. Mungkin pencarian. Atau menunggu. Sesuatu hal yang berhubungan dengan sebuah perjalanan. Aku memperhatikan gerak tangannya yang lembut, membelah tiap warna dari atas kanvas hingga terciptanya sepetak gambar. Sebuah lukisan yang belum jadi sepenuhnya. Seperti..., dermaga. Ya, dermaga yang berkelok-kelok. Sangat panjang.
“Ini adalah lukisan sebuah perjalanan hidup,” selorohnya padaku yang saat itu mulai bingung dengan lukisannya.
Oh, akhirnya ia berbicara, legaku.
Sore itu aku sengaja memilih menghabiskan waktu untuk menemaninya melukis dari atas rumah pohon, daripada duduk-duduk di gazebo hanya mendengarkan celotehan ibu-ibu arisan. Katanya, melukis dengan alam terbuka bisa membuatku lebih berkonsentrasi dan bisa melukiskan suatu gambar yang lebih hidup.
Benar! Ini sebuah gambar yang hidup.
“Dermaga?”
Ia mengangguk. “Gue suka laut, dan dermaga ini bagi gue adalah sebuah jalan kehidupan milik gue yang pasti memiliki ujung dan akhir.”
Aku memutar badan, kemudian duduk bersila tepat di sampingnya. Tadinya wajah ovalku menengadah ke pantai, kini beralih memandangi lukisannya, lagi. “Dan di ujung dermaga itu?” Aku mengarahkan jari telunjukku ke arah seorang gadis kecil yang berdiri di ujung dermaga. Gadis itu memakai dress polkadot, tapi sengaja tak begitu jelas dilukiskannya. Rambutnya sebahu, terlihat sedang menunggu.
“Itu gadis gue dong,” ucapnya dengan bangga, tapi nada suaranya sedikit bergetar. “Nantinya, dia bakal nungguin gue persis kayak gini.”
Ia menarik jari telunjukku yang masih merasakan dasar kanvas yang mulai bertaburan warna, lantas menguncinya dalam genggamannya. Ia kemudian mendekapnya dalam erat. Seolah tak memikirkan jantungku yang hendak melompat dari rongga dada sangking gugupnya. Namun, ia tetap saja melukis dengan tangan kanannya. Sedang tangan kirinya masih setia menghangatkan jemariku yang mungil. Entah apa maksudnya.
“Kenapa langitnya hitam?” Aku kembali memandangi lukisannya yang hampir jadi.
“Ya, memang langit selalu hitam.”
“Apa lo nggak liat senja di sini bagusnya sampai kelewatan?”
“Memang. Tapi bagiku itu gelap. Hitam.”
Seingatku, laki-laki yang sering memakai kemeja gombor itu berusia dua puluh tahun. Dalam darahnya mengalir deras titik-titik garis kehidupan percampuran darah Kalimantan dan Sumatera. Kehobiannya dalam melukis melekat erat dalam ingatanku, sehingga tiap kali ada seseorang yang menyenggol sedikit banyak tentang lukisan, wajahnya selalu terbetik dalam ingatanku.
Namanya Bean. Ia salah satu laki-laki yang percaya diri dengan apa yang ia punya. Aku bisa menangkap ketegasan dari alis tebalnya yang melengkung beberapa senti di atas mata sipitnya. Laki-laki dengan potongan rambut ala Zayn Malik itu selalu percaya, bahwa pada akhirnya cinta itu akan berakhir dengan bahagia. Dengan mengingat  bagaimana proses pencapaian kebahagaian tersebut.
“Ingatkah? Ingatkah? Ya, kira-kira begitulah nanti kalau kedua anak manusia bertemu kembali dengan kenangan masing-masing.” Ia cengengesan sendiri. “Udah ah, yok turun. Gue nggak mau ketinggalan malam tahun baru gara-gara kelamaan duduk di sini sama elo.”
Aku memang masih kecil saat itu, tapi hatiku tidaklah kecil untuk bisa merasakan cintanya yang amat besar untukku.
Ingatkah?
Bahwa setiap masa yang menjelma, ia akan memutarkan kembali cerita lamanya.
Kau tahu, hanya diakhir tahun saja aku dan laki-laki itu bertemu.
Ditahun berikutnya. Semacam rasa yang sulit untuk aku terjemahkan. Hatiku serasa dijatuhi puluhan godam, saat laki-laki dengan nama Bean itu membawa perempuan yang terlihat seumuran dengannya ke Pulau Kotok. Bukan, bukan hal itu yang aku kagetkan. Tapi kenapa perempuan itu sudah terlihat sangat akrab dengan Pak Brahmana? Apa Bean memiliki hubungan khusus dengan perempuan itu? Oh, andaikan Nyokapnya ada di sini, mungkin Tanteh Sarah akan membelaku. Dan, kau tahu, selama liburan kali ini Bean  sama sekali tidak menegurku. Atau melemparkan senyum dinginnya seperti biasa.
Siapa perempuan itu?!
Jelas ia memanggilnya sayang. Telingaku masih normal, Bean memanggil wanita itu dengan sebutan sayang. Kau tahu bagaimana rasanya hati kecilku saat itu? Sangat rapuh. Bahkan lebih rapuh dari kayu reot yang sudah berpuluh-puluh tahun digerogoti oleh rayap. Begitu mudahnya patah jika kau senggol sedikit saja.
Lantas, kemana terbangnya kata cinta satu tahun kemarin? Ia mengatakan cintanya padaku, Tuhan? Bukankah Engkau melihat dan mendengarkannya dari atas sana. Engkau bisa panggilkan elang bandol yang mengitari laut saat Bean mengatakan cintanya untukku. Bahkan, aku rasa dari kejauhan elang itu bisa mendengar suara lantang Bean yang mengatakan cintanya padaku.
Apa Bean hanya mempermainkanku?
 
Ingatkah?
Masa lalu namanya. Bahwa sedalam apapun kau menguburnya, tetaplah terperinci setiap kenangan yang ada.
Di tempat yang sama dan tanggal yang sama.
“Kenapa muka lo jadi murung gitu?” Gema menepuk-nepuk punggung tanganku. “Nggak usah dipikirin lagi. Elo sih, masih kecil aja udah cinta-cintaan. Gitu deh jadinya,” dengusnya, sedikit prihatin.
“Emangnya sejak kapan cinta mikirin soal tua atau muda? Cinta itu datang gitu aja! Kalau tahu gini, mana mau gue jatuh cinta sama dia.”
Tawa Gema pecah seketika. “Kali ini gue yang salah,” desisnya sambil menutup kedua mulutnya dengan satu telapak tangan. “Hey, kenapa nggak buka hati aja, sih?” lanjutnya lagi.
“Emang lo pikir segampang buka kado hadiah tahun baru. Tinggal buka gitu aja?”
“Coba lo cek di dinding facebook elo. Gue rasa banyak banget anak-anak cowok yang ngasih komentar tiap status yang elo buat.”
“Boncu Simanjuntak lagi? Emang kalo ngasih komentar di status facebook itu tandanya suka?”
Kali ini Gema memukul meja dengan  ujung jari-jarinya. “Ha-ha-ha. Ya, ada juga sih selain Boncu. Ya, kan seenggaknya kita tahu kalau dia care sama kita lewat komentar-komentarnya yang sok bijak itu.”
“Sok care lebih tepatnya,” ralatku cepat.
Di zaman sekarang mana ada yang tulus, terkadang kaum hawanya saja yang selalu merasa ditulus-tulusin, tapi nyatanya tetap saja dibodohin. Proses cinta itu tidak segampang memberikan komentar di status facebook. Kemudian bisa dibaca semua orang.
“Kenapa elo nggak mau lagi berhubungan sama dia? Kan lumayan dijadiin temen buat tahun baru.”
“Tau mukanya aja enggak. Udah ah. Jangan gila!”
 
Ingatkah?
Bahwa tanpa kau sadari cinta itu ada di sekitarmu, menjelma jadi bayang-bayang yang tak bisa kau tangkap dari matamu karena gelapnya cinta itu.
Lupakan Pulau Kotok. Mungkin akan ada cerita yang lebih indah dari sekedar melihat pasir putih pantai Kotok dengan kenangan gelapnya. Sejak kami menghabiskan waktu hingga tengah malam di kedai kopi tempo hari. Aku dan Gema resmi memilih tempat berlibur sekaligus tempat merayakan tahun baru nanti.
Dan, percayalah. Kami sempat saling mengadu argumen malam itu. Memilih Pulau Tidung atau Pulau Bidadari untuk melukisan kisah di malam tahun baru.
“Pulau Bidadari lebih indah, Kiran.”
“Dan Pulau Tidung jauh lebih indah.” Aku memberi penekanan yang sangat berat pada kata ‘jauh’ “Mungkin saja aku akan bertemu jodohku di jembatan cinta.”
Gema tertawa terbahak-bahak mendengarkan ceracauanku saat itu.
Perbincangan kami berlanjut begitu saja, seterusnya sampai mulut kami berbusa layaknya orange coffee yang dipesan oleh Gema. Karena terlalu pusing, akhirnya Pulau Putri menjadi tempat pilihan kami. Oh, tentu tempat itu tidak akan mengecewakan. Kata sebagian temanku, sunset di sana jauh lebih indah dengan beberapa fasilitas yang ada. Seperti? Ya, kita lihat saja nanti.
30 Desember, 2012
Kami tiba di sana tepat ketika langit hendak meninggalkan peraduan. Garis-garis tipis dari awan ikut mewarnai langit jingga. Burung-burung elang juga tetap sama, mengitari lautan yang jauh dari pelupuk mata. Aku mengenakan t-shirt polos berwarna coklat muda senada dengan topi pantaiku kala itu. Sedang yang lainnya, ah, kupukul rata penampilan mereka hampir sama saja dengan penampilanku.
Angin laut kemudian mendesah berat, menabrak telingaku, menyapu tiap lembaran rambutku yang terjuntai di balik telinga. Lembut. Hingga membuat mataku terpejam nikmat. Ah, andaikan dia ada di sini. Tentu jauh akan lebih indah. Mataku menerawang jauh, menangkap kapal ferry dan speed boat yang membelah laut. Dengan berbagai macam tujuan, tentunya. Mungkin juga ke spot snorkling.
Aku dan Gema sepakat mengajak beberapa teman kami. Sekitar sepuluh orang, termasuk aku dan Gema. Di sana kami memesan dua cottage saja. Ya, hitung-hitung menghemat biaya. Dengan sangat terpaksa, enam orang anak cowok tidur bersama.
 Lagi pula, mana enak liburan hanya berdua saja di tempat seindah ini?
Ingatkah?
Bahwa, cinta itu tidaklah pernah usai menunggu. Hingga ia menemukan si pemburu hatinya.
“Besok ke tunnel aquarium, ya?”
“Bagaimana kalau glass botton boat? Kelihatannya seru,” tambah Danar dari belakang punggung Gema. Senyumnya mengembang, menampilkan bolongan yang curam dari kedua sudut pipinya.
“Ah, nggak usah. Uang kita sudah menipis gara-gara cottage ini,” sambung Bian.
Kupandangi, sejak sampai di cottage, Danar dan Gema selalu nempel berdua. Saling pandang, kemudian tersenyum bersama. Penampakan yang sangat aneh. “Hey, apa kalian pacaran?” celetukku tiba-tiba, tanpa komando.
Danar kemudian memandangi Gema yang saat itu membalikkan badannya, menatap Danar. “Coba deh lo tanya sahabat elo satu ini. Gue sudah lama nungguin jawabannya.”
Seisi cottage tertawa girang. Ada yang bersiul. Ada juga yang melompat-lompat, sedang Londay menjawil kepala hitam berbungkus rambut keriting milik Danar. “Bisa juga lo nyari gebetan,” rayunya.
Gema nampaknya akan mengakhiri ritual menunggunya, karena  si pemburu hatinya telah menembakkan panah tepat kesasarannya.
Lalu bagaimana dengan elo, Ran? jeritku dalam hati.
      Sunset cruise. Sore tadi, kami sudah mencicipi bagaimana rasanya, sebuah fasilitas yang sengaja diberikan untuk pengunjung yang ingin menikmati keindahan matahari tenggelam dari sebuah kapal. Jangan bertanya bagaimana lukisan alamnya? Sudah jelas sangat indah, bahkan lebih indah dari raut wajah Gema yang sedang dikelilingi oleh pendar asmara. Sedangkan tunnel aquarium? Mungkin aku akan mencoba melupakannya saja.
Aku duduk di undakan tangga cottage. Mataku menjalar, memandangi separuh teman-temanku yang sudah membakar kayu untuk memanggang ayam dan ikan. Mereka tertawa giras seolah tak ada beban sama sekali yang menggantung di pundak mereka. Kupandangi Gema dan Danar. Aku rasa mereka sudah resmi berpacaran, kalau tidak, mana mungkin Gema mau Danar mengalungkan lengan di bahu mulusnya.
Hah, benarlah. Malam ini semuanya akan berganti lagi untuk yang kesekian kalinya tanpa laki-laki itu.
Beberapa jam telah berlalu.
“Mau niup terompet dari sini apa dari bibir pantai?” Londay mulai mengompori dengan satu tusuk ikan di tangan kanannya.
“Kayaknya lebih seru di bibir pantai deh. Gue nggak pernah ngidupin petasan dari atas dermaga...” Gema menyahut.
“Ah, betul banget lo!” sambung Bian.
 00.00 – 1 Januari 2013
Dengarlah, bahwa jantungku berdegup dengan kencang saat ini. Sangking kencangnya, kau bisa mendengarkan detak jantungku dari jarak sepuluh senti saja. Hah, kau semakin dewasa. Tumbuh lebih dingin dari biasanya. Bayangkan saja, bahkan aku sampai lupa kapan terakhir kali aku menatapmu?
Di bawah sinar kembang api yang ditembakkan oleh teman-temanmu, wajahmu terselip di sana, di antara mereka. Tangan kananmu, memegang kembang api, sedang tangan kirimu merangkul seorang wanita...
Jleb!
Begini rasanya? Dan kenapa selalu begini rasanya, Tuhan?
Aku hanya bergeming di antara riakan tawa canda sahabatku. Aku seperti kembali tersudut di malam ini. Di tahun yang berbeda.
Letupan suara petasan, tiupan terompet mulai menjadi backsound teater alam, menjalari sekujur telingaku, hingga ke ulu hati. Udara dipenuhi suara jepretan dari shutter kamera orang-orang yang membanjiri bibir pantai. Oh, Tuhan, aku tak tega melihat setangkup hatiku hancur lebur, membaur dengan dust-dusta yang sebentar lagi akan dibuat oleh para remaja. Aku selalu setia menunggunya. Tapi kenapa begini hasilnya? Dan kenapa aku dipertemukan kembali dengan laki-laki itu kalau dia tetap saja mengandeng wanita lain?
Aku mundur beberapa langkah dari gerombolan teman-temanku, jujur saja dadaku sesak. Selain disumpal dengan asap rokok yang berulangkali dihisap oleh Danar, tentulah pemandangan laki-laki itu semakin membuat dadaku menciut turun naik. Tidak karuan.
Tring.
Bunyi dentingan smartphone berhasil membuyarkan lamunanku. Aku menarik smartphone-ku yang terselip di hot pant.
1 message received.
Dari Nyokap?
Neng, apa kamu masih ingat dengan Bean? Anak laki-laki Pak Brahmana yang sempat ketemu sama kamu waktu di Pulau Kotok? Katanya dia juga sedang liburan di Pulau Putri.
Oh, Ma. Terimakasih banyak, karena Mama berhasil menerbangkan mood-ku jauh ke atas sana.
Aku menutup layar ponselku. Memasukkannya kembali ke dalam saku hot pant. Lalu, beringsut, memandangi langit yang bertaburan bintang. Ramai sekali, seramai orang yang berteriak-teriak menyemaraki pergantian tahun.
“Woi, Kiran! Kita kesini buat have fun! Bukan malah manyun.” Danar melempar sepotong ranting ke arah kakiku yang selonjoran di atas pasir putih.
“Elo kenapa?”
Mataku kini beralih memandang Gema. Ia tetap berada di rangkulan tangan hitam Danar. Dari matanya tersirat bahwa ia sangat bahagia berada di bawah ketiak laki-laki berkulit hitam itu.
“Gue nggak apa-apa. Udah sana!” Aku melemparkan senyum yang benar-benar sangat kupaksakan. Kemudian melemparkan kembali ranting kecil yang tadi disambit Danar ke kakiku. “Sok-sok perhatian sama gue!” tambahku lagi.
“Apa lo lagi nungguin seseorang?
“Peduli apa lo sama gue?”
“Gue cuma nanya, kok. Emang gak boleh?”
Ia kemudian tertawa. Aku langsung menoleh ketika mendengar tawanya, memandanginya. Dari air mukanya, lekuk pipinya, alisnya, bahkan matanya. Kuteliti satu persatu. Hah! Aku masih ingat betul!
“Lo masih ingat gue nggak?”
Aku membisu. Lagi dan lagi. Aku hanya memandanginya. Semakin lama, semakin dalam.
“Pacar lo mana?” Aku memberanikan diri melemparkan pertanyaan itu.
“Apa lo gila? Gue mana punya pacar,” gerutunya kesal, menatap wajahku sangat tajam.
Kalau laki-laki ini tidak memiliki pasangan. Terus yang tadi? Aku langsung bangkit. Berlari kecil, mencari laki-laki yang sejak tadi merangkul seorang wanita di sampingnya.
“Woi, lo nyari siapa? Nggak usah dicari. Itu abang gue!” Ia menepuk bahuku dengan lembut. “Yang lo liat selama ini abang gue, bukan gue!” Seperti tak terkendali, ia malah menarik tubuhku. Membiarkan wajahku yang panas berhadapan dengan wajahnya.
Ia menundukkan pandangannya, memandangi jari-jariku. Lalu jari telunjuknya menyentuh jari telunjukku. “Boncu Simanjuntak?” Ia kembali tersenyum, tanpa mengalihkan pandangan dari jariku. “Itu nama akun facebook abang gue, tapi yang sering pakai gue. Ya, kayak nama samaran doang, cuma untuk ngetes cinta lo.”
Gila! lengkingku dalam hati. Jadi selama bertahun-tahun ini? “Kebayang nggak lo kalau hampir sepuluh tahun gue nungguin elo! Elo dengan santainya bilang kalau cuma mau ngetes cinta gue doang?!” Aku melepaskan tangannya dari jemariku.
“Lo nggak ngerti, Ran,” teriaknya.
Aku berjalan dengan punggung menjauhinya. Tapi di saat bersamaan, sebuah dentuman petasan kembali mengudara. Satu tembakan. Dua tembakan. Tiga tembakan, lalu empat. Silih berganti mengisi telingaku, meramaikan suasana langit.
Ricik-ricik cahaya yang melayang di udara merangkai sebuah kata. Aku mendongak dengan dada yang masih sesak. Menyatukan kata demi kata yang tertembak ke udara.
M-A-A-F
Aku membacanya perlahan.
“Gue minta maaf,” sambarnya dari belakangku.
Lalu saat keheningan menelan waktu. Suara tembakan kembali melayang, terbang tanpa penghalang ke angkasa. Gemerlap kembang api tak lelah mewarnai langit.
Satu tembakan, dua tembakan, tiga tembakan. Nampak akan terangkai menjadi sebuah kata, atau kalimat. Aku tetap mengamatinya, sesekali mengamati Bean yang masih mematung di belakangku.
Aku mengernyit heran membacanya, tak bisa kubohongi kalau dadaku saat itu meletup-letup seperti popcorn yang baru matang.
I-LOVE-U
Bacaku pelan. Oh, Tuhan mimpi apa aku semalam? Sedang orang-orang di sekitaran bibir pantai mulai terkesima melihat kejutan kembang api orang yang tengah mengatakan cinta pada seorang anak manusia yang berada di bawah kerumumnan.
“Kiran,” sambungnya. “Gue cinta sama lo.”
Aku memandanginya, wajahnya disembur oleh cahaya petasan. Ia kemudian berjalan menekatiku. Dengan jari telunjuk yang sengaja diacungkannya tepat di depan mukaku. “Maafin gue, ya,” desisnya dengan jari telunjuk yang masih mengudara. Aku tak sanggup melihatnya, kusambut saja uluran tangannya dengan jari telunjukku.
“Apa nyokap lo nggak cerita kalau orangtua gue cerai? Kami pisah. Gue ikut Nyokap, tinggal di Malaysia sama Bokap baru gue. Dan yang sempat lo liat di tahun kedua liburan bersama Bokap itu abang gue. Oh, maaf, lebih tepatnya kembaran gue; Dean. Dia ikut Bokap tinggal di Jakarta. Sorry sekali lagi.”
Deg!
Aku benar-benar tak tahu tentang itu. Perceraian, saudara kembar dan..., ah, aku tertunduk lemas di depan wajahnya.
“Bean?” panggilku.
“Ya?”
“Berjanjilah nggak bakal lagi tega buat aku kesepian di malam pergantian tahun seperti tahun-tahun sebelumnya.”
“Janji! Ia mengangkat jariku lebih tinggi dari kepalanya, hingga aku menjinjit. “Eh, ngomong-ngomong. Baju lo sama persis kayak yang gue lukis waktu itu.”
Aku memandangi dress polkadot sepaha yang aku kenakan. Menyembunyikan hot pant di dalamnya. “Ah, kebetulan aja. Eh, tapi tunggu! Jadi itu beneran gue, ya?”
“Nggak lah! Jelas bukan!” Bean tertawa lepas. Tawa yang sangat lepas selepas anak-anak muda di malam pergantian tahun ini.
 
 Namanya Bean. Ia salah satu laki-laki yang percaya diri dengan apa yang ia punya. Aku bisa menangkap ketegasan dari alis tebalnya yang melengkung beberapa senti di atas mata sipitnya. Laki-laki dengan potongan rambut ala Zayn Malik itu selalu percaya, bahwa pada akhirnya cinta itu akan berakhir dengan bahagia. Dengan mengingat  bagaimana proses pencapaian kebahagaian tersebut.
“Ingatkah? Ingatkah? Ya, kira-kira begitulah nanti kalau kedua anak manusia bertemu kembali dengan kenangan masing-masing.”
 Aku hanya tersenyum tiap kali mengingatnya.

Note:
Cerpen ini diikutkan dalam lomba #NulisKilat oleh penerbit @_PlotPoint dan @bentangpustaka