“Aku
pasti pulang. Apa kamu nggak menemukan muara itu dari pandangan mataku?”
Aku tertegun mendengarkan
kalimatnya. Tak berniat untuk menjawab pertanyaan tersebut, hanya fokus
memandangi wajahnya.
“Aku pasti kembali, karena kamu
muara itu. November tahun depan aku akan menemuimu lagi. Dan itu janjiku.”
***
Ini
yang selalu aku sesalkan. Sudah hampir tiga tahun aku terkurung di ruangan
gelap ini. Diapit oleh dinding-dinding harapan kosong, bersimbah peluh
kebohongan. Berada di dalam lipatan-lipatan kenangan yang mulai mengusang, namun
tak menghilangkan rasa yang tersimpan dalam tulisan. Ah..., beberapa puluh
menit lagi terhitung tiga tahun aku menunggu ia kembali untuk menemuiku.
Kata mereka, November selalu
memberikan cerita indah dalam desiran angin lembab penggiring awan yang
bercepol hitam dari berbagai arah. Membawa guratan-guratan kisah manja di
langit senja.
Tapi tidak bagiku!
Aku
selalu menghembuskan nafas berat ketika dari kejauhan Oktober mulai
melambai-lambaikan tangan meninggalkan peraduan, mengizinkan November untuk
menyapa. Sejujurnya aku mulai lelah ketika aku harus dihadapkan kembali dengan
bulan itu. Aku bosan setiap hari selama satu bulan penuh menunggu kedatangannya
di bandara Ngurah Rai. Aku bosan ketika aku selalu dihalau oleh keraguan. Aku
bosan Tuhan!
***
Aku masih ingat dengan jelas saat ia
mengatakan bahwa aku memiliki mata yang indah dengan sejuta puisi cinta
tersimpan di dalamnya. Mataku inilah yang katanya selalu membuat ia rindu, dan tak
bisa berlama-lama memberi jeda jika ia tak memandangku. Aku juga masih ingat
dengan jelas bahwa kepergiannya ke Singapura hanya untuk sementara dan ia akan
pulang kembali untuk menemuiku. Tapi nyatanya, apa yang ia ucapkan saat itu
hanyalah janji kosong belaka.
Tiga tahun cukuplah bagiku untuk
membuktikan betapa besar rasa cintaku untuknya, hingga aku tetap setia menunggu
kedatangannya yang tidak jelas arah. Waktu tiga tahun juga sudah cukup
membuktikan bahwa ia bukan laki-laki yang patut untuk aku tunggu. Kalau ia
benar mencintaiku, tidak mungkin ia rela membuatku menunggu tanpa kepastian. Pun
kalau benar ia mencintaiku, lantas kenapa ia tidak pernah mengirimkan aku selembar
kertas berisi kabar nafas kehidupan yang bertabur cerita cinta darinya?
Teman,
perkenalkan namaku Inggit; aku seorang gadis yang selalu terbenam dalam
November yang kelam. Mengapung dalam lautan ketidakpastian. Jika aku boleh memilih,
aku berharap tidak pernah bertemu dengannya, sehingga aku tidak selalu menanti
datangnya November yang lagi-lagi mengantarkan kesedihan.
Teman,
ini sepotong ceritaku. Aku berharap tidak akan ada lagi wanita-wanita bodoh semacam
diriku yang tetap bertahan dengan janji manis laki-laki yang kucinta. Oh, betapa
bodohnya aku selama ini tetap menunggunya, tanpa membuka pintu untuk kelain arah.
Kucukupkan
penantian itu berakhir pada November kali ini. Untuk berikutnya, aku akan mencoba
melupakan penantianku selama tiga tahun belakang, walaupun nanti sebenarnya tetaplah
kurindukan laki-laki itu. Laki-laki yang diberi nama oleh kedua orangtuanya; November.