❄
Dengarlah, bahwa jantungku berdegup
dengan kencang saat ini. Sangking kencangnya, kau bisa mendengarkan detak
jantungku dari jarak sepuluh sentimeter saja. Kau semakin dewasa. Tumbuh lebih
dingin dari biasanya. Bayangkan saja, bahkan aku sampai lupa kapan terakhir kali aku menatapmu?
Di bawah sinar kembang api yang
ditembakkan oleh teman-temanmu, wajahmu terselip di sana, di antara mereka.
Tangan kananmu, memegang kembang api, sedang tangan kirimu merangkul...,
seorang wanita.-
❄
Ingatkah?
Bahwa setiap cerita cinta pasti punya
kenangan indah.
1 Januari,
2012
Sejak sepuluh tahun belakang, menurutku
tidak ada yang menarik dari malam pergantian tahun yang akrab disebut orang
sebagai‘malam tahun baru’itu. Oh, tolonglah, jangan tanya apa alasannya,
karena hal itu tentu akan membuat sebongkah hatiku menghangat. Ah, tidak, lebih
tepatnya sangat menghangat.
❄
10 Desember,
2012
“Gue
nggak tahu, Ma,” ujarku malas pada perempuan yang duduk di sampingku. Matanya
tetap mengarah pada layering orange coffee dan
smoothie cappucino yang baru saja
dilayangkan oleh waiter ke meja kami.
Kami sekarang duduk di sebuah kedai kopi yang berada di Jakarta Timur.
Bertemankan dengan musik reggae yang
mendesing di telinga kami. Sangat cozzy.
Alunan musik itu menyusup lewat belakang-belakang poster vintage yang bertebaran di dindingnya, memanjakan telinga kami yang
kehausan dengan musik reggae.
Gema
memandangi bulir-bulir embun bak peluh yang mengucur di pinggiran gelas orange coffee miliknya. “Dingin, ya...”
desisnya dengan nada suara parau, dari nada suaranya tertangkap kalau ia seolah
tak suka dengan minuman yang baru datang di meja kami.
Mendadak,
dua benang berjejer secara vertikal dari muara alisku yang tertaut. “Bukannya
lo sendiri yang pesen nih minuman?”
“Gue
lupa, Ran, kalau gue sedang...”
“Diet?” potongku cepat.
Ia
menghela nafas berat, kemudian tertawa. “Minggu kemarin, gue udah turun tiga
kilo.”
“Emangnya
minuman dingin bisa bikin gemuk?”
“Iyalah,”
katanya tanpa keraguan.
“Oh,
Gema. Itu hanya mitos. Mana mungkin orange
coffee ini bisa bikin lo gemuk. Kalau elo kira minuman ini bisa membekukan
lemak, kenyataannya memang benar. Tapi, tubuh kita ini memproduksi panas,
sehingga suhu di dalam pencernaan tubuh kita akan lebih tinggi ketimbang suhu
di permukaan kulit ataupun rongga mulut.” Aku nyerocos panjang lebar dalam dua kali
tarikan nafas. “Kalaupun lemak itu membeku di dalam rongga mulut akibat minuman
dingin, kemudian tertelan ke rongga pencernaan, suhu di dalam tubuh dengan
cepat akan akan mencairkannya...”
“Oh,
hentikan ricauan panjang itu Kiran.” Ia langsung menyesap minumannya dengan
mata membelalak memandangiku. Tanpa memikirkan lagi tentang diet.
“Yang
buat gendut itu makanan berlemak dan malas olahraga,” sindiriku sekali lagi,
sebelum aku menceritakan tentang pertemuanku dengan Boncu di dunia facebook.
Kau tahu, sebelum semuanya menjadi sebuah
pertemuan. Aku hanya mengetahui namanya dari nama profile facebook-nya saja; Boncu Simanjuntak. Lengkap dengan profile pict lukisan gambar seorang
perempuan yang tak memakai busana dililit oleh puluhan ular, sehingga
menyerupai pakaian untuknya.
“Itu lukisan gue,”
katanya saat aku menanyakan lukisan di profile
pict-nya. “Gue penggemar berat
Salvador Dali. Lo tahu dia, kan?”
Mukaku mendadak terlipat. Oh, ayolah. Ini sebuah pertanyaan
yang meremehkan atau pertanyaan macam apa? Aku mendengus kesal dalam hati. Lalu
tanganku yang ‘katanya’ putih ini menari dengan liar di atas keyboard, membalas pertanyaan Boncu.
Siapa
yang tidak tahu pelukis asal Spanyol itu?
“Ha-ha! Pertanyaan lo lucu banget! Gue lumayan
banyak tahu tentang lukisan surealisme Dali. Um, gue sebenarnya nggak terlalu
suka, sih. Tapi, seorang laki-laki memaksakan..., ah, nggak, maksudnya ada seorang sahabat
gue yang maksa gue untuk terus ikut mengagumi karya laki-laki berkumis panjang
dengan nama Salvador Dali itu.”
Tak
berapa lama kemudian ia kembali membalas tanggapanku.
“Wah, lo punya temen sama kayak gue.
Gue juga punya sahabat yang sangat suka dengan Dali. Dia lebih pintar melukis
dibanding gue. Kalau disandingkan sama dia, gue benar-benar kalau jauh.”
Deg!
Bisa
kukatakan bahwa aku dan Boncu hanya teman dunia maya. Kami ngobrol hanya lewat chatt facebook. Aku sama sekali tidak
pernah melihat wajahnya secara langsung ataupun hanya sekadar meliriknya dari
foto. Karena itu sudah menjadi perjanjian kami sejak awal berkenalan untuk
saling tukar cerita. Entahlah, aku sampai lupa apa alasan kami merahasiakan
wajah kami masing-masing di media sosial.
Oh,
tunggu. Aku mengingatnya. Boncu sempat bercerita padaku atas dampak penyebaran
bebas foto-foto pengguna media sosial. Tak jarang, banyak sekali perempuan yang
hilang dibawa kabur oleh teman facebook-nya.
Atau, tentu tak asing lagi di telinga kita, bahwa dengan kecanggihan tekhnologi
zaman sekarang, berbagai macam foto bisa diedit sedemikian rupa, sehingga bisa
nampak seolah itu gambar aslinya.
“Foto bugil?”
“Ya, elo tentu tahu itu.”
Ho-o, aku mematut di depan layar laptop-ku. Persis seperti apa yang
dikatakan oleh Nyokap di rumah sewaktu melihat aku meng-upload puluhan foto di akun media sosial.
“Foto kok ditebar-tebar gitu? Mau jualan,
Neng?”
Aku lantas menoleh, memandangi Nyokap yang
setengah membungkuk di belakangku. Ia mengamatiku yang sibuk memilih-milih
foto. “Ini bukan jualan, Ma. Cuma ngasih tahu kalau lagi liburan.”
“Emang penting ngasih tahu kalau kamu lagi
liburan? Kayak artis aja. Dicolong orang baru tahu rasa.” Nyokap mengancamku.
“Anak tetangga kita ada yang fotonya dibikin aneh-aneh sama mantan pacarnya
gara-gara dia selingkuh.”
Nafasku tersedak. “Mama kok tahu?”
Kejadian itu belum genap satu hari heboh di media sosial dan Nyokap sudah tahu lebih
dahulu.
“Hah, apa sih yang nggak mama tahu dari
kamu?” Nyokap lalu berjalan meninggalkanku. Belum terlalu jauh, ia menoleh
kembali dan memanggilku. “Kiran?”
“Ya, Ma?”
“Fotonya mending dicetak aja dari pada dipajang di tempat umum.”
“Ya, Ma?”
“Fotonya mending dicetak aja dari pada dipajang di tempat umum.”
“Buat apa, Ma?”
“Yah, buat ngusir tikus di loteng. Kan
lumayan...” Mama kemudian melengos dengan tawa cekikian yang sengaja
disimpannya di balik bibirnya yang mengembung.
“....”
Setelah
hari itu, oh, tunggu tunggu, bukan setelah kejadian Nyokap menyuruhku untuk
mencuci foto ya. Tapi setelah Boncu menceritakan seorang Salvador Dali padaku.
Ingatanku kembali memutar kenangan tentang laki-laki itu. Hatiku serasa
dijatuhi gerimis kepiluan yang membuat jantungku beku, beku selama
bertahun-tahun. Karena dirinya.
Sejak
saat itu, tak pernah lagi aku membalas chatt-nya.
Sampai sekarang.
❄
Ingatkah?
Bahwa, jika kau terlalu sering
melakukan hal yang istimewa, maka hal istimewa itu tidak akan pernah lagi
menjadi catatan sejarah.
Saat
itu usiaku dua belas tahun, tepat di tahun 2002. Aku masih mengenakan pakaian putih
abu-abu saat Bokap dan Nyokap mengajakku untuk segera mengemasi boneka yang
akan dibawa selama liburan. Pakaiannya? Sudah diberesin sama Bik Jum sejak aku
pergi ke sekolah tadi. Itu yang disampaikan oleh Nyokap. Kata Nyokap, kami akan
berlayar ke Pulau Kotok. Merayakan tahun baru di sana, menginap di bungalow dan
menyegarkan pikiran dari sibuknya Jakarta yang tak pernah tidur. Liburan ke
Pulau Kotok sudah semacam tradisi bagi keluargaku waktu itu. Dan tempat itu
mulai membosankan karena sering kami kunjungi. Ini kenyataannya.
Adakah
yang lebih menarik selain welcome drink jus kelapa ketika pertama kali
menginjakkan kaki di sana?
Lalu,
adakah sesuatu yang lebih ‘wah,’ selain pemandangan pohon-pohon bakau yang
tumbuh kuat dengan akar yang menjalar di pasir putih?
Kemudian,
apakah ada yang lebih bisa menarik perhatianku selain gazebo yang menyediakan lukisan
matahari tenggelam yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata?
“Kiran,”
Nyokap menepuk pundakku dengan lembut, sedikit meremasnya. “kita liburan kali
ini dengan keluarga Pak Brahmana, rekan kerja papa.”
“Terus
apa yang menariknya?” ucapku ketus.
“Pak
Brahmana punya anak laki-laki yang gagah...” Nyokap kemudian menyunggingkan senyuman. “dan Kiran,
kamu bisa mengajaknya jalan-jalan di sana nanti. Bagaimana?”
Oh,
entahlah apa yang sedang dipikirkan Nyokap saat itu. Demi menjalin kekuatan
yang penuh dari kedua perusahaan yang dipimpin oleh Pak Brahmana dan Bokap. Aku
dijadikan semacam umpan untuk memancing ikan di tengah lautan.
❄
“Apa lo lagi nungguin seseorang?
“Peduli apa lo sama gue?”
“Gue cuma nanya, kok. Emang gak boleh?”
Ia hanya menarik salah satu sudut
bibirnya, membentuk garis yang tidak simetris.
Bisa
kutangkap dari lukisannya kalau ia tampak sedang melakukan perjalanan yang
sangat panjang. Mungkin pencarian. Atau menunggu. Sesuatu hal yang berhubungan
dengan sebuah perjalanan. Aku memperhatikan gerak tangannya yang lembut,
membelah tiap warna dari atas kanvas hingga terciptanya sepetak gambar. Sebuah
lukisan yang belum jadi sepenuhnya. Seperti..., dermaga. Ya, dermaga yang
berkelok-kelok. Sangat panjang.
“Ini
adalah lukisan sebuah perjalanan hidup,” selorohnya padaku yang saat itu mulai
bingung dengan lukisannya.
Oh,
akhirnya ia berbicara, legaku.
Sore
itu aku sengaja memilih menghabiskan waktu untuk menemaninya melukis dari atas
rumah pohon, daripada duduk-duduk di gazebo hanya mendengarkan celotehan
ibu-ibu arisan. Katanya, melukis dengan alam terbuka bisa membuatku lebih
berkonsentrasi dan bisa melukiskan suatu gambar yang lebih hidup.
Benar!
Ini sebuah gambar yang hidup.
“Dermaga?”
Ia
mengangguk. “Gue suka laut, dan dermaga ini bagi gue adalah sebuah jalan kehidupan
milik gue yang pasti memiliki ujung dan akhir.”
Aku
memutar badan, kemudian duduk bersila tepat di sampingnya. Tadinya wajah ovalku
menengadah ke pantai, kini beralih memandangi lukisannya, lagi. “Dan di ujung
dermaga itu?” Aku mengarahkan jari telunjukku ke arah seorang gadis kecil yang
berdiri di ujung dermaga. Gadis itu memakai dress
polkadot, tapi sengaja tak begitu jelas dilukiskannya. Rambutnya sebahu, terlihat sedang menunggu.
“Itu
gadis gue dong,” ucapnya dengan bangga, tapi nada suaranya sedikit bergetar.
“Nantinya, dia bakal nungguin gue persis kayak gini.”
Ia
menarik jari telunjukku yang masih merasakan dasar kanvas yang mulai bertaburan
warna, lantas menguncinya dalam genggamannya. Ia kemudian mendekapnya dalam
erat. Seolah tak memikirkan jantungku yang hendak melompat dari rongga dada
sangking gugupnya. Namun, ia tetap saja melukis dengan tangan kanannya. Sedang
tangan kirinya masih setia menghangatkan jemariku yang mungil. Entah apa
maksudnya.
“Kenapa
langitnya hitam?” Aku kembali memandangi lukisannya yang hampir jadi.
“Ya,
memang langit selalu hitam.”
“Apa
lo nggak liat senja di sini bagusnya sampai kelewatan?”
“Memang.
Tapi bagiku itu gelap. Hitam.”
Seingatku,
laki-laki yang sering memakai kemeja gombor
itu berusia dua puluh tahun. Dalam darahnya mengalir deras titik-titik garis kehidupan
percampuran darah Kalimantan dan Sumatera. Kehobiannya dalam melukis melekat
erat dalam ingatanku, sehingga tiap kali ada seseorang yang menyenggol sedikit
banyak tentang lukisan, wajahnya selalu terbetik dalam ingatanku.
Namanya
Bean. Ia salah satu laki-laki yang percaya diri dengan apa yang ia punya. Aku
bisa menangkap ketegasan dari alis tebalnya yang melengkung beberapa senti di
atas mata sipitnya. Laki-laki dengan potongan rambut ala Zayn Malik itu selalu
percaya, bahwa pada akhirnya cinta itu akan berakhir dengan bahagia. Dengan
mengingat bagaimana proses pencapaian
kebahagaian tersebut.
“Ingatkah?
Ingatkah? Ya, kira-kira begitulah nanti kalau kedua anak manusia bertemu
kembali dengan kenangan masing-masing.” Ia cengengesan sendiri. “Udah ah, yok
turun. Gue nggak mau ketinggalan malam tahun baru gara-gara kelamaan duduk di
sini sama elo.”
Aku
memang masih kecil saat itu, tapi hatiku tidaklah kecil untuk bisa merasakan
cintanya yang amat besar untukku.
❄
Ingatkah?
Bahwa setiap masa yang menjelma, ia
akan memutarkan kembali cerita lamanya.
Kau tahu, hanya diakhir tahun saja aku dan laki-laki itu bertemu.
Ditahun berikutnya. Semacam rasa yang
sulit untuk aku terjemahkan. Hatiku serasa dijatuhi puluhan godam, saat laki-laki
dengan nama Bean itu membawa perempuan yang terlihat seumuran dengannya ke
Pulau Kotok. Bukan, bukan hal itu yang aku kagetkan. Tapi kenapa perempuan itu
sudah terlihat sangat akrab dengan Pak Brahmana? Apa Bean memiliki hubungan
khusus dengan perempuan itu? Oh, andaikan Nyokapnya ada di sini, mungkin Tanteh
Sarah akan membelaku. Dan, kau tahu, selama liburan kali ini Bean sama
sekali tidak menegurku. Atau melemparkan senyum dinginnya seperti biasa.
Siapa perempuan itu?!
Jelas ia memanggilnya sayang. Telingaku
masih normal, Bean memanggil wanita itu dengan sebutan sayang. Kau tahu
bagaimana rasanya hati kecilku saat itu? Sangat rapuh. Bahkan lebih rapuh dari
kayu reot yang sudah berpuluh-puluh tahun digerogoti oleh rayap. Begitu
mudahnya patah jika kau senggol sedikit saja.
Lantas, kemana terbangnya kata cinta satu
tahun kemarin? Ia mengatakan cintanya padaku, Tuhan? Bukankah Engkau melihat
dan mendengarkannya dari atas sana. Engkau bisa panggilkan elang bandol yang
mengitari laut saat Bean mengatakan cintanya untukku. Bahkan, aku rasa dari
kejauhan elang itu bisa mendengar suara lantang Bean yang mengatakan cintanya
padaku.
Apa Bean hanya mempermainkanku?
❄
Ingatkah?
Ingatkah?
Masa lalu namanya. Bahwa sedalam apapun
kau menguburnya, tetaplah terperinci setiap kenangan yang ada.
Di tempat yang sama dan tanggal yang
sama.
“Kenapa muka lo jadi murung gitu?” Gema
menepuk-nepuk punggung tanganku. “Nggak usah dipikirin lagi. Elo sih, masih
kecil aja udah cinta-cintaan. Gitu deh jadinya,” dengusnya, sedikit prihatin.
“Emangnya sejak kapan cinta mikirin soal tua atau muda? Cinta itu datang gitu aja! Kalau tahu gini, mana mau gue
jatuh cinta sama dia.”
Tawa Gema pecah seketika. “Kali ini gue
yang salah,” desisnya sambil menutup kedua mulutnya dengan satu telapak tangan.
“Hey, kenapa nggak buka hati aja, sih?” lanjutnya lagi.
“Emang lo pikir segampang buka kado hadiah
tahun baru. Tinggal buka gitu aja?”
“Coba lo cek di dinding facebook elo. Gue rasa banyak banget
anak-anak cowok yang ngasih komentar tiap status yang elo buat.”
“Boncu Simanjuntak lagi? Emang kalo ngasih
komentar di status facebook itu
tandanya suka?”
Kali ini Gema memukul meja dengan ujung jari-jarinya. “Ha-ha-ha. Ya, ada juga
sih selain Boncu. Ya, kan seenggaknya kita tahu kalau dia care sama kita lewat komentar-komentarnya yang sok bijak itu.”
“Sok care lebih tepatnya,” ralatku cepat.
Di zaman sekarang mana ada yang tulus,
terkadang kaum hawanya saja yang selalu merasa ditulus-tulusin, tapi nyatanya
tetap saja dibodohin. Proses cinta itu tidak segampang memberikan komentar di
status facebook. Kemudian bisa dibaca
semua orang.
“Kenapa elo nggak mau lagi berhubungan
sama dia? Kan lumayan dijadiin temen buat tahun baru.”
“Tau mukanya aja enggak. Udah ah. Jangan
gila!”
❄
Ingatkah?
Ingatkah?
Bahwa tanpa kau sadari cinta itu ada di
sekitarmu, menjelma jadi bayang-bayang yang tak bisa kau tangkap dari matamu
karena gelapnya cinta itu.
Lupakan Pulau Kotok. Mungkin akan ada
cerita yang lebih indah dari sekedar melihat pasir putih pantai Kotok dengan
kenangan gelapnya. Sejak kami menghabiskan waktu hingga tengah malam di kedai
kopi tempo hari. Aku dan Gema resmi memilih tempat berlibur sekaligus tempat merayakan
tahun baru nanti.
Dan, percayalah. Kami sempat saling mengadu
argumen malam itu. Memilih Pulau Tidung atau Pulau Bidadari untuk melukisan
kisah di malam tahun baru.
“Pulau Bidadari lebih indah, Kiran.”
“Dan Pulau Tidung jauh lebih indah.” Aku memberi
penekanan yang sangat berat pada kata ‘jauh’ “Mungkin saja aku akan bertemu
jodohku di jembatan cinta.”
Gema tertawa terbahak-bahak mendengarkan
ceracauanku saat itu.
Perbincangan kami berlanjut begitu saja, seterusnya
sampai mulut kami berbusa layaknya orange
coffee yang dipesan
oleh Gema. Karena terlalu pusing, akhirnya Pulau Putri menjadi tempat pilihan
kami. Oh, tentu tempat itu tidak akan mengecewakan. Kata sebagian temanku, sunset di sana jauh lebih indah dengan
beberapa fasilitas yang ada. Seperti? Ya, kita lihat saja nanti.
30 Desember,
2012
Kami tiba di sana tepat ketika langit
hendak meninggalkan peraduan. Garis-garis tipis dari awan ikut mewarnai langit
jingga. Burung-burung elang juga tetap sama, mengitari lautan yang jauh dari
pelupuk mata. Aku mengenakan t-shirt
polos berwarna coklat muda senada dengan topi pantaiku kala itu. Sedang yang
lainnya, ah, kupukul rata penampilan mereka hampir sama saja dengan
penampilanku.
Angin laut kemudian mendesah berat, menabrak
telingaku, menyapu tiap lembaran rambutku yang terjuntai di balik telinga.
Lembut. Hingga membuat mataku terpejam nikmat. Ah, andaikan dia ada di sini.
Tentu jauh akan lebih indah. Mataku menerawang jauh, menangkap kapal ferry dan speed boat yang membelah laut. Dengan
berbagai macam tujuan, tentunya. Mungkin juga ke spot snorkling.
Aku dan Gema sepakat mengajak beberapa
teman kami. Sekitar sepuluh orang, termasuk aku dan Gema. Di sana kami memesan dua
cottage saja. Ya, hitung-hitung
menghemat biaya. Dengan sangat terpaksa, enam orang anak cowok tidur bersama.
Lagi
pula, mana enak liburan hanya berdua saja di tempat seindah ini?
❄
Ingatkah?
Bahwa, cinta itu tidaklah pernah usai
menunggu. Hingga ia menemukan si pemburu hatinya.
“Besok ke tunnel aquarium, ya?”
“Bagaimana kalau glass botton boat? Kelihatannya seru,” tambah Danar dari belakang
punggung Gema. Senyumnya mengembang, menampilkan bolongan yang curam dari kedua
sudut pipinya.
“Ah, nggak usah. Uang kita sudah menipis
gara-gara cottage ini,” sambung Bian.
Kupandangi, sejak sampai di cottage, Danar dan Gema selalu nempel
berdua. Saling pandang, kemudian tersenyum bersama. Penampakan yang sangat
aneh. “Hey, apa kalian pacaran?” celetukku tiba-tiba, tanpa komando.
Danar kemudian memandangi Gema yang saat
itu membalikkan badannya, menatap Danar. “Coba deh lo tanya sahabat elo satu
ini. Gue sudah lama nungguin jawabannya.”
Seisi cottage
tertawa girang. Ada yang bersiul. Ada juga yang melompat-lompat, sedang Londay
menjawil kepala hitam berbungkus rambut keriting milik Danar. “Bisa juga lo
nyari gebetan,” rayunya.
Gema nampaknya akan mengakhiri ritual
menunggunya, karena si pemburu hatinya telah
menembakkan panah tepat kesasarannya.
Lalu bagaimana dengan elo, Ran? jeritku dalam
hati.
❄
Sunset
cruise. Sore tadi, kami
sudah mencicipi bagaimana rasanya, sebuah fasilitas yang sengaja diberikan
untuk pengunjung yang ingin menikmati keindahan matahari tenggelam dari sebuah
kapal. Jangan bertanya bagaimana lukisan alamnya? Sudah jelas sangat indah,
bahkan lebih indah dari raut wajah Gema yang sedang dikelilingi oleh pendar
asmara. Sedangkan tunnel aquarium? Mungkin aku akan mencoba melupakannya saja.
Aku duduk di undakan tangga cottage. Mataku menjalar, memandangi
separuh teman-temanku yang sudah membakar kayu untuk memanggang ayam dan ikan.
Mereka tertawa giras seolah tak ada beban sama sekali yang menggantung di
pundak mereka. Kupandangi Gema dan Danar. Aku rasa mereka sudah resmi
berpacaran, kalau tidak, mana mungkin Gema mau Danar mengalungkan lengan di
bahu mulusnya.
Hah, benarlah. Malam ini semuanya akan berganti
lagi untuk yang kesekian kalinya tanpa laki-laki itu.
Beberapa jam telah berlalu.
“Mau niup terompet dari sini apa dari
bibir pantai?” Londay mulai mengompori dengan satu tusuk ikan di tangan kanannya.
“Kayaknya lebih seru di bibir pantai deh.
Gue nggak pernah ngidupin petasan dari atas dermaga...” Gema menyahut.
“Ah, betul banget lo!” sambung Bian.
❄
00.00 – 1 Januari
2013
Dengarlah, bahwa jantungku berdegup dengan
kencang saat ini. Sangking kencangnya, kau bisa mendengarkan detak jantungku
dari jarak sepuluh senti saja. Hah, kau semakin dewasa. Tumbuh lebih dingin
dari biasanya. Bayangkan saja, bahkan aku sampai lupa kapan terakhir kali aku menatapmu?
Di bawah sinar kembang api yang
ditembakkan oleh teman-temanmu, wajahmu terselip di sana, di antara mereka.
Tangan kananmu, memegang kembang api, sedang tangan kirimu merangkul seorang
wanita...
Jleb!
Begini rasanya? Dan kenapa selalu begini
rasanya, Tuhan?
Aku hanya bergeming di antara riakan tawa
canda sahabatku. Aku seperti kembali tersudut di malam ini. Di tahun yang
berbeda.
Letupan suara petasan, tiupan terompet
mulai menjadi backsound teater alam,
menjalari sekujur telingaku, hingga ke ulu hati. Udara dipenuhi suara jepretan
dari shutter kamera orang-orang yang
membanjiri bibir pantai. Oh, Tuhan, aku tak tega melihat setangkup hatiku
hancur lebur, membaur dengan dust-dusta yang sebentar lagi akan dibuat oleh
para remaja. Aku selalu setia menunggunya. Tapi kenapa begini hasilnya? Dan
kenapa aku dipertemukan kembali dengan laki-laki itu kalau dia tetap saja mengandeng
wanita lain?
Aku mundur beberapa langkah dari gerombolan
teman-temanku, jujur saja dadaku sesak. Selain disumpal dengan asap rokok yang
berulangkali dihisap oleh Danar, tentulah pemandangan laki-laki itu semakin
membuat dadaku menciut turun naik. Tidak karuan.
Tring.
Bunyi dentingan smartphone berhasil membuyarkan lamunanku. Aku menarik smartphone-ku yang terselip di hot pant.
1 message received.
Dari Nyokap?
Neng, apa kamu masih ingat dengan Bean?
Anak laki-laki Pak Brahmana yang sempat ketemu sama kamu waktu di Pulau Kotok?
Katanya dia juga sedang liburan di Pulau Putri.
Oh, Ma. Terimakasih banyak, karena Mama berhasil menerbangkan mood-ku
jauh ke atas sana.
Aku menutup layar ponselku. Memasukkannya
kembali ke dalam saku hot pant. Lalu,
beringsut, memandangi langit yang bertaburan bintang. Ramai sekali, seramai
orang yang berteriak-teriak menyemaraki pergantian tahun.
“Woi, Kiran! Kita kesini buat have fun! Bukan malah manyun.” Danar
melempar sepotong ranting ke arah kakiku yang selonjoran di atas pasir putih.
“Elo kenapa?”
Mataku kini beralih memandang Gema. Ia
tetap berada di rangkulan tangan hitam Danar. Dari matanya tersirat bahwa
ia sangat bahagia berada di bawah ketiak laki-laki berkulit hitam itu.
“Gue nggak apa-apa. Udah sana!” Aku
melemparkan senyum yang benar-benar sangat kupaksakan. Kemudian melemparkan kembali
ranting kecil yang tadi disambit Danar ke kakiku. “Sok-sok perhatian sama gue!”
tambahku lagi.
❄
“Apa lo lagi nungguin seseorang?
“Peduli apa lo sama gue?”
“Gue cuma nanya, kok. Emang gak boleh?”
Ia kemudian tertawa. Aku langsung menoleh
ketika mendengar tawanya, memandanginya. Dari air mukanya, lekuk pipinya, alisnya, bahkan matanya. Kuteliti
satu persatu. Hah! Aku masih ingat betul!
“Lo masih ingat gue nggak?”
Aku membisu. Lagi dan lagi. Aku hanya
memandanginya. Semakin lama, semakin dalam.
“Pacar lo mana?” Aku memberanikan diri melemparkan
pertanyaan itu.
“Apa lo gila? Gue mana punya pacar,” gerutunya
kesal, menatap wajahku sangat tajam.
Kalau laki-laki ini tidak memiliki
pasangan. Terus yang tadi? Aku langsung bangkit. Berlari kecil, mencari
laki-laki yang sejak tadi merangkul seorang wanita di sampingnya.
“Woi, lo nyari siapa? Nggak usah dicari. Itu abang gue!” Ia menepuk bahuku
dengan lembut. “Yang lo liat selama ini abang gue, bukan gue!” Seperti tak
terkendali, ia malah menarik tubuhku. Membiarkan wajahku yang panas berhadapan
dengan wajahnya.
Ia menundukkan pandangannya, memandangi
jari-jariku. Lalu jari telunjuknya menyentuh jari telunjukku. “Boncu
Simanjuntak?” Ia kembali tersenyum, tanpa mengalihkan pandangan dari jariku.
“Itu nama akun facebook abang gue,
tapi yang sering pakai gue. Ya, kayak nama samaran doang, cuma untuk ngetes
cinta lo.”
Gila! lengkingku dalam hati. Jadi selama bertahun-tahun
ini? “Kebayang nggak lo kalau hampir sepuluh tahun gue nungguin elo! Elo dengan
santainya bilang kalau cuma mau ngetes cinta gue doang?!” Aku melepaskan
tangannya dari jemariku.
“Lo nggak ngerti, Ran,” teriaknya.
Aku berjalan dengan punggung menjauhinya.
Tapi di saat bersamaan, sebuah dentuman petasan kembali mengudara. Satu
tembakan. Dua tembakan. Tiga tembakan, lalu empat. Silih berganti mengisi telingaku,
meramaikan suasana langit.
Ricik-ricik cahaya yang melayang di udara
merangkai sebuah kata. Aku mendongak dengan dada yang masih sesak. Menyatukan
kata demi kata yang tertembak ke udara.
M-A-A-F
Aku membacanya perlahan.
“Gue minta maaf,” sambarnya dari
belakangku.
Lalu saat keheningan menelan waktu. Suara
tembakan kembali melayang, terbang tanpa penghalang ke angkasa. Gemerlap kembang api tak
lelah mewarnai langit.
Satu tembakan, dua tembakan, tiga
tembakan. Nampak akan terangkai menjadi sebuah kata, atau kalimat. Aku tetap
mengamatinya, sesekali mengamati Bean yang masih mematung di belakangku.
Aku mengernyit heran membacanya, tak bisa
kubohongi kalau dadaku saat itu meletup-letup seperti popcorn yang baru matang.
I-LOVE-U
Bacaku pelan. Oh, Tuhan mimpi apa aku semalam?
Sedang orang-orang di sekitaran bibir pantai mulai terkesima melihat kejutan
kembang api orang yang tengah mengatakan cinta pada seorang anak manusia yang berada
di bawah kerumumnan.
“Kiran,” sambungnya. “Gue cinta sama lo.”
Aku memandanginya, wajahnya disembur oleh cahaya petasan. Ia kemudian berjalan menekatiku. Dengan jari telunjuk yang sengaja diacungkannya tepat di depan mukaku. “Maafin gue, ya,” desisnya dengan jari telunjuk yang masih mengudara. Aku tak sanggup melihatnya, kusambut saja uluran tangannya dengan jari telunjukku.
Aku memandanginya, wajahnya disembur oleh cahaya petasan. Ia kemudian berjalan menekatiku. Dengan jari telunjuk yang sengaja diacungkannya tepat di depan mukaku. “Maafin gue, ya,” desisnya dengan jari telunjuk yang masih mengudara. Aku tak sanggup melihatnya, kusambut saja uluran tangannya dengan jari telunjukku.
“Apa nyokap lo nggak cerita kalau orangtua
gue cerai? Kami pisah. Gue ikut Nyokap, tinggal di Malaysia sama Bokap baru
gue. Dan yang sempat lo liat di tahun kedua liburan bersama Bokap itu abang
gue. Oh, maaf, lebih tepatnya kembaran gue; Dean. Dia ikut Bokap tinggal di
Jakarta. Sorry sekali lagi.”
Deg!
Aku benar-benar tak tahu tentang itu.
Perceraian, saudara kembar dan..., ah, aku tertunduk lemas di depan wajahnya.
“Bean?” panggilku.
“Ya?”
“Berjanjilah nggak bakal lagi tega buat
aku kesepian di malam pergantian tahun seperti tahun-tahun sebelumnya.”
“Janji! Ia mengangkat jariku lebih tinggi
dari kepalanya, hingga aku menjinjit. “Eh, ngomong-ngomong. Baju lo sama persis
kayak yang gue lukis waktu itu.”
Aku memandangi dress polkadot sepaha yang aku kenakan. Menyembunyikan hot pant di dalamnya. “Ah, kebetulan aja. Eh, tapi tunggu! Jadi itu
beneran gue, ya?”
“Nggak lah! Jelas bukan!” Bean tertawa
lepas. Tawa yang sangat lepas selepas anak-anak muda di malam pergantian tahun ini.
❄
Namanya
Bean. Ia salah satu laki-laki yang percaya diri dengan apa yang ia punya. Aku
bisa menangkap ketegasan dari alis tebalnya yang melengkung beberapa senti di
atas mata sipitnya. Laki-laki dengan potongan rambut ala Zayn Malik itu selalu
percaya, bahwa pada akhirnya cinta itu akan berakhir dengan bahagia. Dengan
mengingat bagaimana proses pencapaian
kebahagaian tersebut.
“Ingatkah?
Ingatkah? Ya, kira-kira begitulah nanti kalau kedua anak manusia bertemu
kembali dengan kenangan masing-masing.”
Aku hanya tersenyum tiap kali mengingatnya.
Note:
Cerpen ini diikutkan dalam lomba #NulisKilat oleh penerbit @_PlotPoint dan @bentangpustaka