Aku tidak tahu arti
cinta yang sesungguhnya, karena yang aku tahu cinta adalah sebuah perjalanan
panjang untuk mencari serpihan ceritaku. Apa mungkin itu adalah arti dari
cinta? Ya, bagiku mungkin saja, tapi belum tentu bagimu.
***
“Cinta
itu apaan sih menurut kamu?” tanyaku, sambil menenteng buku catatan kecil.
Sok-sok jadi wartawan untuk satu minggu ke depan.
Laki-laki
itu meringis, setelah menyesap es teh yang berembun di pinggiran kantongnya.
“Cinta itu...,” Kalimatnya terhenti di ujung lidah. “Ah, buat apaan sih?!”
tepisnya. “Jangan-jangan kamu sekarang udah kayak Moza? Jadi wartawan sekolah
buat ngepoin anak-anak di sini. Setelah itu kamu publikasikan di mading, dan
semua orang bakal tahu siapa aku dan bisa-bisa semua adik kelas bakal nyariin
aku karena jatuh cinta dengan kata-kata yang sudah aku buat mengenai arti dari
cinta itu.” Ia nyerocos dalam satu tarikan nafas.
“Ha???
Agak lebay nggak sih?!” bantahku dengan iringan kedua alis yang hampir saja
menyatu.
***
Hari
itu bibirku mendadak mengerucut, telingaku sontak panas ketika mendengar Bu
Lusi –guru bahasa indonesia- melontarkan sebuah pertanyaan yang rasanya sangat
asing di telinga ini.
“Menurut
kalian apa arti dari cinta itu, anak-anak?”
Seluruh
siswa laki-laki di kelas teriak histeris, dan para wanita senyum-senyum simpul
mendengar pertanyaan iseng dari Bu Lusi. Oh, ayolah, apa hubungannya pertanyaan
itu dengan materi yang disampaikan oleh Bu Lusi kali ini mengenai cara membuat
surat lamaran kerja? Lumayan terlihat konyol.
“Cinta
itu kayak air, Buk. Nggak bisa digenggam. Kita cuma bisa memandanginya aja,”
celetuk Dimas
“Dia
itu lagi patah hati, Buk,” ceplos Angga seenaknya.
Ku
pandangi Bu Lusi hanya tersenyum sambil manggut-manggut. “Ada yang lain?”
Olin
mengacungkan tangan. “Cinta itu kayak pelangi, Buk. Memberikan warna yang
berbeda dan membuat hidup lebih terasa. Indah banget dah pokoknya.”
Para
lelaki di pojokan langsung bersiul kegirangan, mendengar jawaban manis dari
gadis yang berlabelkan wanita pujaan di sekolah ini.
Aku
kira pertanyaan Bu Lusi hanya hiburan semata disaat semua siswanya dilanda
ngantuk berat. Tapi, nyatanya pertanyaan itu malah dibuat tugas harian yang
bakal dikumpul satu minggu kemudian. Konyolnya lagi, pertanyaan itu harus
diberikan untuk lawan jenis, hanya satu orang saja dengan jawaban yang
berbeda-beda.
***
“Aku membiarkan cinta itu mengalir bagai
rintik-rintik hujan yang setia memberikan kehidupan untuk sang pohon,” kata
Dorez, meyakiniku yang kebingungan mencari arti cinta.
“Berarti,
cinta itu berbicara tentang kesetiaan?” tanyaku lagi.
“Ya!!!”
serunya bersemangat.
Dengan
cepat aku mencatat perkataan Dorez. Buku catatanku kali ini terisi dengan
ucapan manis darinya setelah aku merayunya untuk menjawab tugas dari Bu Lusi dan
sudah pasti dengan iming-iming satu kantong es teh kesukaan Dorez.
***
Sengaja aku biarkan
lukisan alam mengantarkan potongan cerita indah dari perjalananku mencari arti
dari cinta yang dilayangkan ke langit-langit kebahagiaan. Titik-titik hujan
yang turun dari langit ku jadikan sebagai tinta untuk menuliskan arti-arti
cinta dari orang yang memberikan penjelasan padaku
“Agak
lebay nggak sih?!” Dorez muncul di belakang punggungku, senyum-senyum manja
setelah membaca tulisan pendekku di buku harian saat bel istirahat berbunyi.
Aku
langsung menutup buku harianku. “Kita kan janjiannya di kantin. Kok kamu mampir
ke kelas aku?!”
“Ya
nggak apa-apa lagi! Asal kamu tahu ya, semua cewek di sekolah ini maunya
dimampirin sama aku. Minta tanda tangan, foto dan...”
“Udah,
udah. Jangan mulai lagi alay-nya,” potongku cepat.
“Ya,
kamu sih. Harusnya kamu senang dong aku mampirin. Mumpung aku ada ide buat
jawab pertanyaan kamu.”
Kalau
boleh aku katakan Dorez memang sedikit berlebihan, apa lagi semenjak novel yang
ia tulis dua tahun belakangan nangkring di rak toko buku. Aku akui ia lumayan
puitis, memainkan kata-kata dengan sangat manis, belum lagi ditambah dengan
lukisan wajah yang sangat indah. Tak heran kalau separuh dari adik kelas jatuh
cinta dengannya. Aku mengenal Dorez sudah empat tahun yang lalu, di acara ulang
tahun Intan –teman satu kelasku yang ternyata masih saudara jauh dengan Dorez.
Aku
menghela nafas berat. “Apa arti cinta?” tanyaku malas.
“Kamu
niat nggak sih ngerjain tugas?!” Ia menepuk dahiku.
“Aw!”
Aku mengelus-ngelus dahiku dengan muka terlipat. “Iya, iya. Menurut kamu apa
arti cinta?” tanyaku dengan senyum yang dibuat-buat.
“Hm!
Catet ya,” perintahnya. “Cinta itu seperti bulan yang tidak pernah lelah
menanti untuk bertemu dengan sang matahari walau hanya terjadi satu kali saja.”
Dorez berucap lagi.
“Berarti
cinta itu adalah sebuah penantian,” balasku.
“Betul,
Yuka,” ujarnya. “Romantis kan aku?”
Aku
tersenyum manis, menampilkan bolongan kecil di sela-sela pipi merahku. “Ya,
lumayan,” kataku pendek. Walau sebenarnya hatiku melepuh.
***
Aku
memandangi wajah mungin ini di cermin kecil yang selalu aku bawa ke sekolah.
Tersenyum sendiri, sesekali merapikan kunciran yang seringkali ditarik oleh
Dorez tiap kali aku melintasi kelasnya, lalu tersenyum lagi. Kata Dorez wanita
yang rambutnya dikuncir itu terlihat seksi. Entah ia melihat dari sudut mana.
“Eh,
butuh berapa jawaban lagi?” tanya Dorez.
“Kata
Bu Lusi sebanyak-banyaknya. Kamu bisa jawab berapa banyak?”
“Ya,
kalau aku sih sebanyak-banyaknya bisa. Tapi, aku nggak yakin kalau kamu mau
nulisin semuanya.”
Ia
tertawa kencang di dalam kantin, berhasil menemukan titik kelemahanku yang
sebenarnya sama sekali tidak tertarik untuk menulis. Kalau anak-anak di kelas
sibuk mencatat saat guru menjelaskan materi pelajaran, maka saat itu aku akan sibuk
merekam penjelasan dari guru lewat handphone-ku.
“Sudah ah! Jangan suka mainin anak
orang,” kataku sambil meninggalkan ia yang masih sibuk dengan satu mangkuk
baksonya. “Pulang sekolah nanti aku tunggu di kelas.”
“Iya,” balasnya pendek sambil mengunyah
gumpalan daging bakso.
***
Sapuan angin manja menerbangkan
beberapa dedaunan yang bertebaran di depan kelas, yang nantinya bakal membuat
tukang sapu sekolah bekerja lebih ekstra. Langit nampaknya mulai melukiskan
wajah muram. Sedih? Sepertinya begitu, terlihat dari awannya yang menghitam.
Burung-burung yang biasanya duduk manja di kabel listrik sudah pulang ke
sangkarnya masing-masing, dan satu-persatu siswa mulai meninggalkan sekolah.
“Nungguin Dorez buat nyelesain tugas?” tanya Olin sebelum
meninggalkan kelas dengan wajah sinis. “SMS aja nggak bisa ya? Atau telpon?”
“Dorez nggak mau ngasih nomer handphone-nya,” jawabku acuh tak acuh.
“Ya, wajar sih.” Ia melengos tanpa berdosa.
Ini tugas macam apa?
Aku menggeram dalam hati. Tugas yang Ibu Lusi berikan benar-benar
mengundang kontroversi, khususnya untuk murid perempuan yang mengidolakan Dorez
di sekolah. Sejenis cemburu akut karena beberapa hari ini Dorez dan aku sering
jalan berdua di sekolah. Bahkan, ada adik kelas yang sengaja mengirim sms yang
isinya; “Kak, kakak ini pacarnya kak Dorez, ya?”
Belum lagi tingkah Olin yang benar-benar berubah setelah
mengetahui kalau yang menjawab pertanyaanku tentang tugas dari Bu Lusi itu
adalah Dorez.
“Udah lama ya nunggu?” Dorez tiba dengan tumpukan buku di
tangannya.
“Sebenarnya nggak, tapi gara-gara cewek yang ngidolain
kamu berhasil bikin kepalaku panas rasanya lama banget nungguin kamu.”
“Siapa?”
“Olin!” jawabku dengan nada menyentak. “Kenapa kamu nggak
ngash nomor hanpdhone kamu aja sih?!
Biar aku bisa minta jawaban tanpa harus ketemu sama kamu.”
Dorez meletakkan tumpukkan bukunya di atas meja, tepat di
samping tas-ku yang masih tergeletak. “Kamu nggak seneng ketemu sama aku? Semua
cewek di sini malah rebutan mau ketemuan sama aku, eh kamu kok malah nggak mau.
Kamu ngebayangin nggak sih kalau...”
“Udah, udah. Ngomongnya nggak usah panjang lebar,”
potongku. “Gara-gara kita sering ketemu ini banyak orang yang nggak suka sama
aku. Mereka kira aku...”
“Kita pacaran? Gitu?! Hahaha.” Dorez tertawa
terbahak-bahak, sampai pangkal lidahnya terlihat dari retina mataku.
“Apa ada yang lucu....?” Aku menepuk dahinya.
Dorez meringis kesakitan. “Eh, eh, eh. Selama ini nggak
ada ya yang berani mukul aku!”
“Kecuali aku!!!” timpalku garang.
***
Banyak
hal yang aku tangkap dari perbincanganku dengan Dorez beberapa hari yang lalu, termasuk
kemarin saat langit gelap dan siap mengguyur bumi dengan air matanya. Ia
memandangi langit yang menumpahkan kesedihan. Saat itu juga ia mengatakan kalau
cinta itu adalah kesedihan, kesedihan yang sengaja didatangkan demi membuat
orang yang di sayang bahagia.
“Boleh
aku katakan kalau cinta itu pengorbanan?”
“Iya,
betul sekali, Yuka!”
Lagi-lagi
aku mencatat kalimat manis yang keluar dari bibir tipisnya. Sampai saat ini
baru tercatat tiga kalimat mengenai arti cinta darinya. Kalau ia tanya butuh
berapa lagi? Maka aku akan menjawab sebanyak-banyaknya.
“Kenapa
Bu Lusi nggak ngasih tugas itu di kelas kami ya?”
“Kamu
mau dapat tugas seperti itu?” Aku mengipaskan tangan di depan wajahnya.
“Memangnya
kenapa? Ada yang salah?”
“Enggak
sih. Tapi kamu mau minta jawaban sama siapa?”
Dorez
hanya tersenyum. Demi langit yang memiliki istana, senyum itu sangatlah manis.
***
Dua
hari lagi tugas Bu Lusi akan dikumpulkan, tapi sayangnya Dorez sudah kehabisan
akal untuk menjawab pertanyaanku. Aku mulai bosan, hingga aku memutuskan hanya
tiga jawaban yang akan aku kumpulkan pada Bu Lusi dipelajaran bahasa indonesia
nanti.
“Jadi
cinta itu adalah sebuah kesetiaan, penantian
dan pengorbanan. Seperti air yang setia, bulan yang tidak pernah lelah menanti,
dan hujan yang rela berkorban.”
“Kamu
salah,” potong Dorez.
Aku
memicingkan mata, memandanginya dengan tatapan menyelidik. “Apanya yang salah?
Itukan jawaban kamu.”
Ia
menepuk-nepuk dahiku, tapi kali ini dengan sangat lembut. “Cinta itu adalah...”
“Tunggu-tunggu,
aku ngambil buku catatan dulu.”
“Nggak
usah! Catet di sini aja.” Ia mengarahkan tanganku di dadanya.
Aku
menyipitkan mata, memandangi siswa di sekitaran lorong kelas yang saat itu
memandangiku dan Dorez.
“Cinta
itu adalah... kamu Yuka. Kayaknya aku harus pacaran dulu sama kamu biar aku
bisa menjawab arti dari cinta itu.”
Aku
melongo memandangi Dorez yang saat itu masih memegang tanganku. “Kamu sakit?”
“Ya,
bisa dibilang sakit! Sakit karena karena terlalu lama memendam perasaan ini.”
2 komentar:
sweet ^^
Keren.
Posting Komentar