-->
Free Alien Dance Cursors at www.totallyfreecursors.com

Tugas Mencari Arti Cinta

Sabtu, 21 September 2013



Aku tidak tahu arti cinta yang sesungguhnya, karena yang aku tahu cinta adalah sebuah perjalanan panjang untuk mencari serpihan ceritaku. Apa mungkin itu adalah arti dari cinta? Ya, bagiku mungkin saja, tapi belum tentu bagimu.
***
“Cinta itu apaan sih menurut kamu?” tanyaku, sambil menenteng buku catatan kecil. Sok-sok jadi wartawan untuk satu minggu ke depan.
Laki-laki itu meringis, setelah menyesap es teh yang berembun di pinggiran kantongnya. “Cinta itu...,” Kalimatnya terhenti di ujung lidah. “Ah, buat apaan sih?!” tepisnya. “Jangan-jangan kamu sekarang udah kayak Moza? Jadi wartawan sekolah buat ngepoin anak-anak di sini. Setelah itu kamu publikasikan di mading, dan semua orang bakal tahu siapa aku dan bisa-bisa semua adik kelas bakal nyariin aku karena jatuh cinta dengan kata-kata yang sudah aku buat mengenai arti dari cinta itu.” Ia nyerocos dalam satu tarikan nafas.
“Ha??? Agak lebay nggak sih?!” bantahku dengan iringan kedua alis yang hampir saja menyatu.
***
Hari itu bibirku mendadak mengerucut, telingaku sontak panas ketika mendengar Bu Lusi –guru bahasa indonesia- melontarkan sebuah pertanyaan yang rasanya sangat asing di telinga ini.
“Menurut kalian apa arti dari cinta itu, anak-anak?”
Seluruh siswa laki-laki di kelas teriak histeris, dan para wanita senyum-senyum simpul mendengar pertanyaan iseng dari Bu Lusi. Oh, ayolah, apa hubungannya pertanyaan itu dengan materi yang disampaikan oleh Bu Lusi kali ini mengenai cara membuat surat lamaran kerja? Lumayan terlihat konyol.
“Cinta itu kayak air, Buk. Nggak bisa digenggam. Kita cuma bisa memandanginya aja,” celetuk Dimas
“Dia itu lagi patah hati, Buk,” ceplos Angga seenaknya.
Ku pandangi Bu Lusi hanya tersenyum sambil manggut-manggut. “Ada yang lain?”
Olin mengacungkan tangan. “Cinta itu kayak pelangi, Buk. Memberikan warna yang berbeda dan membuat hidup lebih terasa. Indah banget dah pokoknya.”
Para lelaki di pojokan langsung bersiul kegirangan, mendengar jawaban manis dari gadis yang berlabelkan wanita pujaan di sekolah ini.
Aku kira pertanyaan Bu Lusi hanya hiburan semata disaat semua siswanya dilanda ngantuk berat. Tapi, nyatanya pertanyaan itu malah dibuat tugas harian yang bakal dikumpul satu minggu kemudian. Konyolnya lagi, pertanyaan itu harus diberikan untuk lawan jenis, hanya satu orang saja dengan jawaban yang berbeda-beda.
***
“Aku  membiarkan cinta itu mengalir bagai rintik-rintik hujan yang setia memberikan kehidupan untuk sang pohon,” kata Dorez, meyakiniku yang kebingungan mencari arti cinta.
“Berarti, cinta itu berbicara tentang kesetiaan?” tanyaku lagi.
“Ya!!!” serunya bersemangat.
Dengan cepat aku mencatat perkataan Dorez. Buku catatanku kali ini terisi dengan ucapan manis darinya setelah aku merayunya untuk menjawab tugas dari Bu Lusi dan sudah pasti dengan iming-iming satu kantong es teh kesukaan Dorez.
***
Sengaja aku biarkan lukisan alam mengantarkan potongan cerita indah dari perjalananku mencari arti dari cinta yang dilayangkan ke langit-langit kebahagiaan. Titik-titik hujan yang turun dari langit ku jadikan sebagai tinta untuk menuliskan arti-arti cinta dari orang yang memberikan penjelasan padaku
“Agak lebay nggak sih?!” Dorez muncul di belakang punggungku, senyum-senyum manja setelah membaca tulisan pendekku di buku harian saat bel istirahat berbunyi.
Aku langsung menutup buku harianku. “Kita kan janjiannya di kantin. Kok kamu mampir ke kelas aku?!”
“Ya nggak apa-apa lagi! Asal kamu tahu ya, semua cewek di sekolah ini maunya dimampirin sama aku. Minta tanda tangan, foto dan...”
“Udah, udah. Jangan mulai lagi alay-nya,” potongku cepat.
“Ya, kamu sih. Harusnya kamu senang dong aku mampirin. Mumpung aku ada ide buat jawab pertanyaan kamu.”
Kalau boleh aku katakan Dorez memang sedikit berlebihan, apa lagi semenjak novel yang ia tulis dua tahun belakangan nangkring di rak toko buku. Aku akui ia lumayan puitis, memainkan kata-kata dengan sangat manis, belum lagi ditambah dengan lukisan wajah yang sangat indah. Tak heran kalau separuh dari adik kelas jatuh cinta dengannya. Aku mengenal Dorez sudah empat tahun yang lalu, di acara ulang tahun Intan –teman satu kelasku yang ternyata masih saudara jauh dengan Dorez.
Aku menghela nafas berat. “Apa arti cinta?” tanyaku malas.
“Kamu niat nggak sih ngerjain tugas?!” Ia menepuk dahiku.
“Aw!” Aku mengelus-ngelus dahiku dengan muka terlipat. “Iya, iya. Menurut kamu apa arti cinta?” tanyaku dengan senyum yang dibuat-buat.
“Hm! Catet ya,” perintahnya. “Cinta itu seperti bulan yang tidak pernah lelah menanti untuk bertemu dengan sang matahari walau hanya terjadi satu kali saja.” Dorez berucap lagi.
“Berarti cinta itu adalah sebuah penantian,” balasku.
“Betul, Yuka,” ujarnya. “Romantis kan aku?”
Aku tersenyum manis, menampilkan bolongan kecil di sela-sela pipi merahku. “Ya, lumayan,” kataku pendek. Walau sebenarnya hatiku melepuh.
***
Aku memandangi wajah mungin ini di cermin kecil yang selalu aku bawa ke sekolah. Tersenyum sendiri, sesekali merapikan kunciran yang seringkali ditarik oleh Dorez tiap kali aku melintasi kelasnya, lalu tersenyum lagi. Kata Dorez wanita yang rambutnya dikuncir itu terlihat seksi. Entah ia melihat dari sudut mana.
“Eh, butuh berapa jawaban lagi?” tanya Dorez.
“Kata Bu Lusi sebanyak-banyaknya. Kamu bisa jawab berapa banyak?”
“Ya, kalau aku sih sebanyak-banyaknya bisa. Tapi, aku nggak yakin kalau kamu mau nulisin semuanya.”
Ia tertawa kencang di dalam kantin, berhasil menemukan titik kelemahanku yang sebenarnya sama sekali tidak tertarik untuk menulis. Kalau anak-anak di kelas sibuk mencatat saat guru menjelaskan materi pelajaran, maka saat itu aku akan sibuk merekam penjelasan dari guru lewat handphone-ku.
            “Sudah ah! Jangan suka mainin anak orang,” kataku sambil meninggalkan ia yang masih sibuk dengan satu mangkuk baksonya. “Pulang sekolah nanti aku tunggu di kelas.”
            “Iya,” balasnya pendek sambil mengunyah gumpalan daging bakso.
***
            Sapuan angin manja menerbangkan beberapa dedaunan yang bertebaran di depan kelas, yang nantinya bakal membuat tukang sapu sekolah bekerja lebih ekstra. Langit nampaknya mulai melukiskan wajah muram. Sedih? Sepertinya begitu, terlihat dari awannya yang menghitam. Burung-burung yang biasanya duduk manja di kabel listrik sudah pulang ke sangkarnya masing-masing, dan satu-persatu siswa mulai meninggalkan sekolah.
            “Nungguin Dorez buat nyelesain tugas?” tanya Olin sebelum meninggalkan kelas dengan wajah sinis. “SMS aja nggak bisa ya? Atau telpon?”
            “Dorez nggak mau ngasih nomer handphone-nya,” jawabku acuh tak acuh.
            “Ya, wajar sih.” Ia melengos tanpa berdosa.
            Ini tugas macam apa? Aku menggeram dalam hati. Tugas yang Ibu Lusi berikan benar-benar mengundang kontroversi, khususnya untuk murid perempuan yang mengidolakan Dorez di sekolah. Sejenis cemburu akut karena beberapa hari ini Dorez dan aku sering jalan berdua di sekolah. Bahkan, ada adik kelas yang sengaja mengirim sms yang isinya; “Kak, kakak ini pacarnya kak Dorez, ya?”
            Belum lagi tingkah Olin yang benar-benar berubah setelah mengetahui kalau yang menjawab pertanyaanku tentang tugas dari Bu Lusi itu adalah Dorez.
            “Udah lama ya nunggu?” Dorez tiba dengan tumpukan buku di tangannya.
            “Sebenarnya nggak, tapi gara-gara cewek yang ngidolain kamu berhasil bikin kepalaku panas rasanya lama banget nungguin kamu.”
            “Siapa?”
            “Olin!” jawabku dengan nada menyentak. “Kenapa kamu nggak ngash nomor hanpdhone kamu aja sih?! Biar aku bisa minta jawaban tanpa harus ketemu sama kamu.”
            Dorez meletakkan tumpukkan bukunya di atas meja, tepat di samping tas-ku yang masih tergeletak. “Kamu nggak seneng ketemu sama aku? Semua cewek di sini malah rebutan mau ketemuan sama aku, eh kamu kok malah nggak mau. Kamu ngebayangin nggak sih kalau...”
            “Udah, udah. Ngomongnya nggak usah panjang lebar,” potongku. “Gara-gara kita sering ketemu ini banyak orang yang nggak suka sama aku. Mereka kira aku...”
            “Kita pacaran? Gitu?! Hahaha.” Dorez tertawa terbahak-bahak, sampai pangkal lidahnya terlihat dari retina mataku.
            “Apa ada yang lucu....?” Aku menepuk dahinya.
            Dorez meringis kesakitan. “Eh, eh, eh. Selama ini nggak ada ya yang berani mukul aku!”
            “Kecuali aku!!!” timpalku garang.
***
Banyak hal yang aku tangkap dari perbincanganku dengan Dorez beberapa hari yang lalu, termasuk kemarin saat langit gelap dan siap mengguyur bumi dengan air matanya. Ia memandangi langit yang menumpahkan kesedihan. Saat itu juga ia mengatakan kalau cinta itu adalah kesedihan, kesedihan yang sengaja didatangkan demi membuat orang yang di sayang bahagia.
“Boleh aku katakan kalau cinta itu pengorbanan?”
“Iya, betul sekali, Yuka!”
Lagi-lagi aku mencatat kalimat manis yang keluar dari bibir tipisnya. Sampai saat ini baru tercatat tiga kalimat mengenai arti cinta darinya. Kalau ia tanya butuh berapa lagi? Maka aku akan menjawab sebanyak-banyaknya.
“Kenapa Bu Lusi nggak ngasih tugas itu di kelas kami ya?”
“Kamu mau dapat tugas seperti itu?” Aku mengipaskan tangan di depan wajahnya.
“Memangnya kenapa? Ada yang salah?”
“Enggak sih. Tapi kamu mau minta jawaban sama siapa?”
Dorez hanya tersenyum. Demi langit yang memiliki istana, senyum itu sangatlah manis.
***
Dua hari lagi tugas Bu Lusi akan dikumpulkan, tapi sayangnya Dorez sudah kehabisan akal untuk menjawab pertanyaanku. Aku mulai bosan, hingga aku memutuskan hanya tiga jawaban yang akan aku kumpulkan pada Bu Lusi dipelajaran bahasa indonesia nanti.
“Jadi cinta  itu adalah sebuah kesetiaan, penantian dan pengorbanan. Seperti air yang setia, bulan yang tidak pernah lelah menanti, dan hujan yang rela berkorban.”
“Kamu salah,” potong Dorez.
Aku memicingkan mata, memandanginya dengan tatapan menyelidik. “Apanya yang salah? Itukan jawaban kamu.”
Ia menepuk-nepuk dahiku, tapi kali ini dengan sangat lembut. “Cinta itu adalah...”
“Tunggu-tunggu, aku ngambil buku catatan dulu.”
“Nggak usah! Catet di sini aja.” Ia mengarahkan tanganku di dadanya.
Aku menyipitkan mata, memandangi siswa di sekitaran lorong kelas yang saat itu memandangiku dan Dorez.
“Cinta itu adalah... kamu Yuka. Kayaknya aku harus pacaran dulu sama kamu biar aku bisa menjawab arti dari cinta itu.”
Aku melongo memandangi Dorez yang saat itu masih memegang tanganku. “Kamu sakit?”
“Ya, bisa dibilang sakit! Sakit karena karena terlalu lama memendam perasaan ini.”